PEKANBARU, LIPO - Pengadilan Negeri Pekanbaru menggelar sidang kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Universitas Riau (UR), Selasa (25/01/22).
Sidang dilakukan secara virtual dan terdakwa Syafri Harto mengikuti sidang dari sel Markas Polda Riau.
Dalam kasus ini Syafri Harto yang merupakan Dosen Pembimbing dari L (Korban) menjadi terdakwa.
Pada sidang tersebut, Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, Rizal Syah Nyaman, diturunkan untuk membacakan dakwaan terhadap Syafri Harto.
Selain Aspidum, kejaksaan juga menurunkan Koordinator Bidang Pidana Umum (Pidum) Kejati Riau, Carel, Kasi TPUL Kejati, I Wayan Sutarjana, Kepala Seksi Pidum Kejari Pekanbaru, Zulham Perdamaian Pane, Syafril, Rita Oktavera, Sartika Ayu Tarugan, dan Yuridho Fadlin.
Para jaksa senior bergantian membacakan surat dakwaan sebanyak 15 halaman di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang diketuai Estiono.
"Perkara atas nama SH. Agenda hari ini, kami dari tim JPU membacakan surat dakwaan," ujar Aspidum Kejati Riau, Rizal Syah Nyaman usai persidangan yang digelar tertutup di Ruang Sidang Prof R Soebakti SH Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Atas dakwaan tersebut, penasehat hukum terdakwa Syafri Harto langsung membacakan eksepsi atau keberatan. Meski begitu, JPU terap berkeyakinan pada dakwaan.
"Kami nanti membuat nota pendapat atas eksepsi. Kami meminta waktu kepada yang mulia majelis hakim satu minggu dan kami akan menyatakan pendapat," jelas Rizal
Sementara, penasehat hukum terdakwa, Dody Fernando, menilai ada beberapa hal yang tidak diuraikan secara jelas oleh JPU dalam surat dakwaannya.
"Karena dalam pasal pencabulan ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan tapi dalam dakwaan tidak diuraikan kapan Pak Syafri Harto melalukan kekerasan atau ancaman kekerasan," kata Dody.
Begitu juga dalam dakwaan lebih subsider disebutkan dugaan pencabulan dilakukan di depan orang lain, tetapi ketika uraian peristiwa disebutkan bahwa peristiwa terjadi ketika Syafri Harto dengan L.
"Berarti tidak ada orang lain," ucap Dody.
Ia juga menilai bahwa kasus ini terlalu dipaksakan.
"Karena keterangan saksi Lamanda saja yang jadi dasar penegakan hukum dalam kasus ini. Keterangan satu orang saksi bukanlah saksi dan itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menghukum orang," tutur Dody.
Dody juga meminta dilakukan tes kejujuran terhadap korban untuk membuktikan kebenaran.
"Kita sudah sampaikan beberapa bukti yang menurut kami ada indikasi (kebohongan) cerita L yang kita tembuskan ke Kejaksaan, tapi itu tidak dilakukan. Biar berimbang," kata Dody. (*1/***)