Mantan Wakil Ketua DPRD Riau Ini Sebut Defisit Adalah Hal Wajar, Pernah Terjadi Juga pada Tahun 2023

Rabu, 19 Maret 2025 | 11:35:36 WIB
Hardianto/lipo

LIPO - Isu defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta tunda bayar yang mencapai triliunan rupiah menjadi sorotan publik di Provinsi Riau.

 Hardianto, anggota DPRD Riau yang juga mantan Wakil Ketua DPRD Riau, angkat bicara menanggapi polemik ini. Menurutnya, defisit dalam pengelolaan keuangan daerah merupakan hal yang wajar terjadi, namun perlu diatasi dengan langkah-langkah konkret agar tidak berdampak buruk pada pembangunan masyarakat.

Hardianto menjelaskan bahwa APBD, baik murni maupun perubahan, bersifat asumsi dan tidak selalu pasti. "Defisit terjadi ketika jumlah belanja melebihi target pendapatan. Ini adalah konsekuensi logis dari tiga hal: pertama, APBD murni dan perubahan yang disahkan, kedua, terjadi surplus jika pendapatan sesuai dengan rencana, dan ketiga, defisit jika belanja tidak seimbang dengan pendapatan," ujarnya, Rabu 19 Maret 2025.

Namun, yang menjadi masalah adalah ketika defisit tersebut berdampak pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Hardianto menegaskan bahwa polemik ini seharusnya tidak diperdebatkan di media karena hanya akan membingungkan publik.

"Publik bingung karena angka defisit yang beredar di media berbeda-beda, ada yang menyebut Rp3,5 triliun dan ada yang dibawah itu. Yang perlu dilakukan pertama kali adalah memastikan angka pasti defisit, sumber, dan penyebabnya. Tanpa itu, kita hanya akan meraba-raba mencari solusi," tegasnya.

Hardianto mengungkapkan bahwa pada saat pengesahan APBD 2024, tidak ada indikasi defisit karena komponen pendapatan, belanja, dan penerimaan diatur agar seimbang. Namun, defisit dan tunda bayar muncul pasca pengesahan APBD perubahan 2024.

"Ini terjadi karena ada tunda bayar dari tahun sebelumnya sebesar Rp916 miliar, yang menjadi beban utang pemerintah provinsi pada tahun 2025," jelasnya.

Beberapa faktor penyebab defisit tersebut antara lain:  

1. Target Pendapatan dari PI Blok Rokan yang Tidak Tercapai: Pendapatan dari PI Blok Rokan yang telah dibukukan sebagai target pendapatan 2024 tidak tercapai hingga 31 Desember 2024.  

2. Tunda Salur dari Pemerintah Pusat: Dana yang seharusnya dibayarkan pada 2023 namun tertunda hingga 2024.  

3. Target Pendapatan yang Tidak Tercapai: Target pendapatan yang disepakati dalam APBD perubahan 2024 tidak tercapai, sehingga tidak mampu membiayai belanja yang telah direncanakan.

Hardianto juga menyoroti tunda bayar sebesar Rp2,2 triliun yang muncul di tahun 2025. Menurutnya, tunda bayar ini kemungkinan besar berasal dari utang pemerintah provinsi yang harus dibayarkan pada 2025, termasuk hutang penyaluran pajak hak kabupaten dan kota, serta TPP dan gaji pegawai yang belum dianggarkan untuk dua bulan terakhir tahun 2025 (November-Desember).

"Jika dihitung, tunda bayar ini kemungkinan di bawah Rp2,2 triliun, bukan di atasnya," ujarnya.

Hardianto menyarankan agar pemerintah provinsi segera berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk menyelesaikan masalah tunda salur dan mencari solusi atas defisit yang terjadi.

"Kita harus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang tata kelola keuangan daerah dan defisit. Setelah itu, baru kita bisa mencari solusi bersama," tambahnya.

Ia juga mengingatkan bahwa defisit bukanlah hal baru. Pada 2023, Riau juga mengalami defisit sebesar Rp800 miliar, namun berhasil ditutupi dengan pencairan dana PI Blok Rokan sebesar Rp1,6 triliun.

"Tunda bayar di 2025 ini adalah akibat dari masalah yang terjadi di 2024. Kita harus belajar dari pengalaman ini agar tidak terulang di masa depan," pungkasnya.(***)

Tags

Terkini