LIPO - Lombok tidak hanya dikenal dengan cantiknya Gili Meno, Gili Air, dan Gili Trawangan. Namun juga Gunung Rinjani yang menjadi destinasi penting bagi turis lokal maupun mancanegara.
Gunung Rinjani memiliki ketinggian 3.726 Meter dari Permukaan Laut (Mdpl). Termasuk dalam urutan ke tiga Seven Summit Indonesia setelah Gunung Kerinci dan Gunung Jaya Wijaya yang memiliki ketinggian 4884 Mdpl.
Bila Gunung Kerinci terkenal dengan Gagah-nya, maka Gunung Rinjani terkenal dengan Cantik-nya. Sehingga tak heran banyak pendaki ingin menyandingkan keduanya (Gunung) tersebut.
Dari sekian banyak jalur pendakian di Rinjani, jalur via Sembalun menjadi jalur favorit para pendaki menuju puncak, dan kembali turun melalui jalur Torean yang terkenal dengan keindahannya.
Pengalaman seru naik ke gunung rinjani diceritakan oleh Erwin. “Kami bersama 3 temannya mendaki pada 16 November 2023,” ucap Erwin memulai ceritanya.
Setelah menyiapkan segala keperluan, mereka terbang ke Lombok via Kuala Lumpur Malaysia, sambil membeli kebutuhan selama pendakian.
Sampai di Lombok, mereka bergabung dengan 1 pendaki dari Bangka Belitung, 1 dari Jakarta, dan 1 dari Jawa Barat, langsung berangkat ke Basecamp. Singkat cerita, keesokan harinya pukul 08.00 wit mereka menuju BKSDA melakukan simaksi.
Tak berapa lama, rombongannya pun dibawa menuju Bukit Tiga menggunakan mobil pick up. Di sini, sejenak mereka mengambil beberapa photo untuk koleksi masing-masing.
Sambil menatap jalur yang akan mereka lalui, mereka tak lupa menatap puncak rinjani dari kejauhan. Dari sini sabana tampak hijau kekuningan terhampar luas membentang. Segerombol sapi melintas di depan mereka sambil merumput.
Sembari kaki melangkah, sejumlah kendaraan roda dua abang ojek menggoda, “yuk naik ojek ke pos 2”.
“Namun, kami dengan halus menolak tawaran mereka dan tetap jalan kaki meskipun terik mata hari mulai menyapa,” jelas Erwin.
Jalur yang naik turun tanpa pohon pelindung, membuat keringat perlahan mulai membasahi tubuh.
“Di depan, kami melihat abang ojek santai mengisap kreteknya di atas motor dengan cuek. Sepertinya mereka yakin dibawah terik matahari kami akan menyerah dan memanggil menggunakan jasanya. Namun, kami tak kalah cuek, berpura-pura kuat dan sengaja terus melewatinya,” katanya.
Benar saja, abang ojek yang teriak duluan menawarkan jasanya. Usai negosiasi, dengan alasan menghemat tenaga, mereka pun mengaku naik ojek sampai ke pos 2.
“Hemat tenaga untuk ke puncak lebih penting dari sekedar memaksakan diri untuk tidak naik ojek, kata temanku Bowo dari Bangka Belitung,” ucap Erwin.
Pukul 10.30 wit mereka sejenak istirahat di pos 2 sambil menyeruput segelas kopi. Ternyata di sini pendaki sudah ramai bersiap-siap melanjutkan perjalanan pendakiannya. Sebagian dari mereka ada yang membongkar logistiknya kembali untuk memeriksa perbekalannya. Sementara beberapa pendaki lain tampak saling bercengkrama dengan pendaki asal luar negeri.
“Kala itu, terasa di eropa,” ucap Erwin lirih.
Tiga puluh menit berlalu. Perjalanan menuju Pos 3 pun dimulai. Perjalanan dari Pos 2 ke Pos 3 ini jaraknya tidak terlalu jauh. Selama perjalanan menuju Pos 3, disuguhkan track naik turun.
“Membuat nafas kembang kempis,” ucap Erwin.
Suasana di Pos 3 tidak jauh berbeda dengan di Pos 2. Sejumlah pendaki tampak menikmati kretek sambil makan buah semangka.
“Tak jauh dari tempat kami duduk, terdengar sayup-sayup suara pendaki sedang membahas “Bukit Penyesalan”. Ternyata sebentar lagi kami akan dihadapkan tantangan yang cukup berat setelah pos 4,” ungkap Erwin.
Dari cerita mereka, di Bukit Penyesalan ini biasanya akan terjadi perdebatan batin. Turun salah, naik pun kaki terasa berat. Setapak demi setapak kaki mereka melangkah.
“Benar ternyata cukup menguras tenaga menuju pos 4. Dengkul terasa goyah, bahu dan pundak mulai terasa pegal. Untung saja perjalanan ke pos 4 ini masih ada sedikit pohon cemara melindungi dari terik matahari,” ucap Erwin.
“Sambil terengah kami masih tetap tersenyum sekedar memompa semangat kawan sependakian. Sebatang coklat, permen pelega tenggorokan jadi teman setia mengisi kembali tenaga yang terkuras,” tambahnya.
Hampir 2 jam berlalu, di ujung bukit mereka pun melihat bendera merah putih berkibar ditiup angin, pertanda pos 4 (Cemara Siu) tak lama lagi digapai.
“Sambil terus melihat ke atas, dari atas terdengar sorakan pendaki lain menyemangati kami dengan teriakan “ayo, melangkah lah, selangkah lagi”, Kami hanya mampu membalasnya dengan mengangkat tracking pool sambil melemparkan senyuman tipis tanpa bersuara,” kata Erwin.
Memang, hampir di semua gunung, para pendaki saling menyemangati bila berpapasan di track pendakian. Pada umumnya, mereka menyapa dengan “hati-hati pak, sedikit lagi pak sampai pak”. Bahkan tak jarang menggoda mengatakan satu belokan lagi disana ada jualan es krim.
Dikatakan Erwin, suasana pos 4 hampir sama dengan pos-pos sebelumnya. Para pendaki tampak duduk sambil menggoyangkan kaki sekedar melemaskan otot. Sebagian lagi dari mereka tampak mengamankan “kampung tengah” alias perut.
“Disini juga kami berkenalan dengan 3 pendaki perempuan Akamsi (Anak Sekitar Kampung Sini) asal Lombok. Dan memutuskan bergabung dengan rombongan kami. Akhirnya kami berjumlah 10 orang melakukan pendakian,” tuturnya.
Sebentar lagi mereka akan menempuh “Bukit Penyesalan” sebelum sampai ke Plawangan. Di trak ini lagi-lagi dengkul ini diuji.
Dari berbagai cerita, tak jarang para pendaki ciut nyali sebelum mencapai Plawangan tempat nge-camp menuju summit ke Top Rinjani.
“Benar saja, di “Bukit Penyesalan” ini napas dibuat “ngap-ngap”. Batin berkecamuk, maju atau menyerah?. Kami saling pandang dengan teman sependakian, sambil saling memperhatikan raut wajah masing-masing. Ujungnya, kami saling tertawa, dan terus menapak tanjakan,” kata Erwin sambil tertawa.
Memasuki waktu magrib mereka sampai di Pelawangan. Hujan gerimis dan tiupan angin mulai menusuk tulang.
“Takut terkena Hipo, kami pun buru-buru menuju Pelawangan Tiga untuk istirahat,” tukas Erwin.
Sambil menikmati makan malam dan segelas kopi, pikiran mereka terus berkecamuk. Track berat Letter E menghantui.
“Mampukah kami melewatinya?. Maklum, kami dari Riau tak banyak waktu olahraga fisik, lantaran belum lama turun dari Gunung Kerinci, Jambi,” ungkapnya.
Pukul 23.00 Wit, langkah pendaki lain di balik tenda membuat mereka harus bersiap-siap melawati tantangan terakhir, menuju Top Rinjani. Kilauan headlamp di kepala para pendaki berbaris panjang mengikuti alur punggungan gunung.
“Indah dilihat, tapi lutut ini mulai goyah. Sambil menepi istirahat, kami mampu mendengar tarikan napas pendaki lainnya,” kata Erwin.
Dengan tenaga tersisa, sampailah mereka di kaki Leter E. Mentari pagi menyapa puncak tampak dari kejauhan. Tenaga terasa tersisa sedikit hanya untuk berdiri. Mereka terdiam, wajah penuh keraguan menyelimuti seiring datangnya kabut silih berganti.
Pemandangan kala itu diceritakan Erwin, beberapa pendaki tampak tergeletak ketiduran tanpa memperdulikan rotinya berpindah tangan ke monyet. Tidurnya begitu pulas.
Jam baru menunjukan pukul 06.00 wit, beberapa pendaki bule tampak mulai ada yang turun.
“Kami tersadar kami masih di kaki Leter E,” ucapnya.
“Seketika semangat muncul, kami harus meraih puncak. Kaki mulai melangkah, letter E langsung menampar kaki. Tiga kali melangkah, hasilnya satu langkah. Pasir bercampur batuan longgar begitu menguras tenaga. Disini kembali nyali diuji. Bathin kembali berkecamuk, menyerah atau tidak,” ucapnya lagi.
Meskipun Gunung Kerinci lebih tinggi dengan trak terjal dengan vegetasi yang rapat, Gunung Rinjani menawarkan suasana lain dengan hamparan luas dengan pasir batuan longgar.
“Tepat pukul 09.00 wit, kami berhasil. Kami terdiam tak percaya dengan tenaga tersisa berhasil mencapai puncaknya. Inikah Rinjani?, begitu sayang untuk dilewati. Setiap sudut begitu nyata keindahannya. Ciptaan Tuhan, Pesonanya Indonesia,” tukasnya. *****