Opini WDP 'Kado' Pahit untuk Pemprov Riau, Ini Tiga Rekomendasi dari Fitra

Rabu, 04 Juni 2025 | 19:16:55 WIB
Sartika Dewi /F: ist

PEKANBARU, LIPO - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Riau Tahun Anggaran 2024. Predikat ini menjadi “kado” pahit di awal 100 hari kerja Gubernur Riau yang baru menjabat.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), BPK mengungkap sejumlah persoalan serius, salah satunya utang daerah yang mencapai Rp1,76 triliun. Utang tersebut termasuk kewajiban kepada pihak ketiga sebesar Rp40,81 miliar, yang merupakan pembayaran kepada kontraktor dan penyedia jasa yang belum diselesaikan.

Besarnya utang ini akan menjadi beban keuangan tahun 2025. Padahal, pemerintah seharusnya bisa fokus meningkatkan pelayanan dasar kepada masyarakat.

Selain utang, BPK juga menemukan kelebihan pembayaran belanja perjalanan dinas sebesar Rp16,98 miliar, yang dinilai sebagai bentuk pemborosan anggaran dan lemahnya pengawasan internal. Padahal, untuk tahun 2025, belanja perjalanan dinas sudah dialokasikan sebesar Rp352,6 miliar, dan harus lebih efisien sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025.

Organisasi masyarakat sipil Fitra Riau menyoroti bahwa temuan BPK tahun ini bukanlah hal baru. Pada tahun 2023, kelebihan belanja perjalanan dinas dan lemahnya pengawasan juga terjadi. Sayangnya, rekomendasi BPK tidak ditindaklanjuti secara serius oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau.

“Ini menunjukkan belum ada komitmen kuat untuk melakukan perbaikan tata kelola keuangan secara menyeluruh,” kata Sartika Dewi Manager Advokasi & Riset Fitra Riau, Rabu 4 Juni 2025.

Fitra juga menilai penggunaan anggaran belum sepenuhnya berdasarkan prinsip efisiensi dan akuntabilitas. Belanja rutin masih mendominasi, sementara belanja produktif untuk pelayanan masyarakat masih minim.

Kemudian di tahun 2025, Pemprov Riau mengalokasikan Rp3,05 triliun atau 32% dari total belanja daerah untuk sektor pendidikan. Angka ini katanya memang lebih tinggi dari batas minimal mandatory spending 20%. Namun, anggaran di luar gaji pegawai hanya 15%, padahal seharusnya minimal 20% digunakan untuk peningkatan mutu layanan pendidikan.

Fitra mencatat, kondisi infrastruktur pendidikan masih banyak yang memprihatinkan. Data menunjukkan, kondisi ruang kelas belajar yang masih layak pada jenjang SMP hanya 51,28%, SMA 61,58%, dan SMK 64,34%.

Tak hanya itu, angka anak putus sekolah juga tinggi. Pada tahun 2024, tercatat 955 anak SD putus sekolah, dan sekitar 9.000 anak lainnya terancam tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMP/SMA, khususnya di wilayah terpencil dan perbatasan, karena keterbatasan sekolah negeri dan tingginya biaya di sekolah swasta.

Padahal, salah satu misi utama Gubernur Riau yang tercantum dalam agenda 100 hari kerja adalah peningkatan layanan pendidikan dan keberpihakan kepada kelompok marjinal serta penyandang disabilitas.

Atas kondisi ini Fitra Riau merekomendasikan beberapa langkah yang harus segera dilakukan oleh Pemprov Riau:

1. Temuan-temuan ini menunjukkan perlunya perbaikan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Pemprov Riau diharapkan menindaklanjuti rekomendasi BPK guna memperbaiki tata kelola keuangan dan mencegah terulangnya permasalahan serupa di masa mendatang.

2. Memperbaiki sistem pengendalian internal dan pengawasan anggaran yang lebih transparan dan akuntabel serta upaya pencegahan korupsi anggaran publik;

3. Pemerintah daerah lebih fokus pada persoalan mendasar masyarakat terutama untuk peningkatan pelayanan dasar, sektor pendidikan dan sektor lainnya yang masih minim.

 

Terkini