PUG Gelar Forum Dialog terkait Implementasi FSC Bangun Lingkungan di Riau

Rabu, 03 Desember 2025 | 18:44:28 WIB
Patala Unggul Gesang menggelar forum dialog pemangku kepentingan terkait Implementasi kebijakan Forest Stewardship Council /lipo

PEKANBARU, LIPO -  Patala Unggul Gesang menggelar forum dialog pemangku kepentingan terkait Implementasi kebijakan Forest Stewardship Council di Hotel Pangeran, Pekanbaru, Rabu (3/12/2025).

Dialog tersebut untuk menghadirkan pengelolaan hutan yang berkeadilan, ramah lingkungan dan bertanggung jawab di Bumi Lancang Kuning Provinsi Riau.

Kegiatan tersebut juga menghadirkan pemerintah kabupaten/kota, akademisi, organisasi masyarakat adat, LSM, perusahaan, dan perwakilan desa.

Direktur Patala Unggul Gesang (PUG) Nazir Foead membuka forum dengan menekankan bahwa proses remediasi FSC membutuhkan sikap saling memahami dan kesiapan “mundur satu dua langkah” dari semua pihak.

Ia merujuk pesan Menteri Kehutanan yang menyatakan bahwa konflik hanya dapat diselesaikan bila semua pihak bersedia melihat posisi masing-masing.

Nazir mengungkap bahwa sejak Januari 2025, PUG bersama tim telah turun langsung ke desa-desa di Kuansing, Pelalawan, Indragiri Hulu (Inhu), dan Siak untuk memperkenalkan konsep remediasi FSC melalui workshop dan dialog moderasi.

Mereka tinggal hingga beberapa bulan di desa, mencatat aspirasi warga, dan mengidentifikasi persoalan-persoalan sosial-lingkungan yang selama ini mengemuka.

“Perwakilan desa memaparkan hasil identifikasi masalah serta harapan mereka. Kami berharap perusahaan juga bersedia mendengarkan suara masyarakat,” ujar Nazir.

Nazir menegaskan bahwa FSC Remedy Framework memberi kesempatan bagi perusahaan untuk memperbaiki dampak lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan pada masa lalu.

"Masyarakat dari unsur pemerintah desa, pemuka adat, tokoh perempuan, hingga pemuda sangat antusias menyampaikan aspirasi. Mereka ingin memastikan apa saja yang harus masuk dalam remediasi," imbuhnya.

Nazir menjelaskan bahwa April Group, sebagai perusahaan HTI, telah menyatakan komitmennya untuk melaksanakan remediasi FSC yang mewajibkan penggantian nilai sosial, budaya, dan lingkungan yang hilang.

"Masyarakat yang merasa menyampaikan langsung apa yang perlu dipulihkan. Perusahaan juga berkomitmen membahasnya secara serius bersama mitra-mitranya," ucapnya.

Nazir berharap dialog tatap muka antara perusahaan dan masyarakat di 10 desa bisa dilakukan secepatnya, dengan prinsip kesetaraan dan moderator independen.

"Kita berharap beberapa bulan ke depan sudah ada kesepakatan awal. Tidak semua bisa dikerjakan sekaligus, mungkin dua dulu, lalu disusul lainnya," kata Nazir.

Sementara itu, Direktur Utama April Group, Mulya Nauli, menegaskan bahwa remediasi sosial FSC ini merupakan program pertama di dunia. Indonesia, khususnya Riau, menjadi pionir proses yang dinilai historis ini.

"FSC Remedy Sosial ini pertama kali dilakukan di dunia. FSC sendiri masih mengembangkan kerangkanya. Tapi kita ingin maju dan menjadi contoh," ujar Mulya.

Ia menjelaskan, perubahan aturan FSC memberi peluang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk mengikuti sertifikasi tanpa diskriminasi.

Mulya menegaskan April Group akan menelaah seluruh aspirasi masyarakat satu per satu. Jika ada aspirasi yang tidak sesuai kerangka remediasi, tetap akan ditanggapi melalui kanal keluhan resmi perusahaan.

"Beberapa desa menganggap program CSR tidak transparan. Ini akan kami evaluasi. Rembuk desa sudah dilakukan setiap tahun, tapi mungkin tidak semua desa mengetahuinya. Itu kekurangan kami," tutur Mulya.

Perwakilan Desa Talang Pring Jaya, Kecamatan Kulim, Indragiri Hulu, Batin Tarmili (52) menyampaikan harapan besar agar remediasi benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat.

"Kami hidup di kampung sejak dulu berladang berpindah. Sekarang sudah tidak bisa lagi. Itu yang harus dikembalikan kepada kami," ujarnya.

Guru Besar Ekologi Manusia IPB, Suryo Adiwibowo, menjelaskan bahwa FSC adalah standar internasional yang lahir dari kegelisahan atas deforestasi besar-besaran di negara-negara berkembang.

Ia mengurai prinsip FSC, termasuk kepatuhan hukum, perlindungan hak pekerja, penghormatan hak masyarakat adat, konservasi nilai tinggi (High Conservation Value) dan audit independen berkala.

Menurut Suryo, penerapan Remedy Framework di Riau adalah yang pertama di dunia.

“Ini momentum langka. Kesediaan perusahaan untuk menerapkan remediasi harus disambut karena akan membawa lompatan bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan di Riau,” jelasnya.

Sementara itu, Representatif FSC Indonesia, Hartono Prabowo dalam pernyataannya yang dibacakan oleh Mahir Takaka sebagai Standart Development Group FSC mengatakan program remediasi mendorong perusahaan kehutanan untuk lebih bertanggung jawab terhadap isu sosial dan lingkungan.

"Program ini sangat relevan bagi perusahaan kehutanan di Indonesia. Kami menghargai dukungan Kementerian Kehutanan, Pemprov Riau, serta pemerintah kabupaten dalam proses ini," kata dia.

Ia juga mengapresiasi kerja PUG dan para fasilitator desa yang selama lima bulan menghimpun aspirasi masyarakat.

Pertemuan bersama perwakilan desa, perusahaan, dan pemerintah hari ini dinilai sebagai langkah penting menuju pembentukan Core Dialogue Group, kelompok dialog inti yang menjadi syarat resmi Program Remediasi FSC.

"Program remediasi bukan kembali ke masa lalu, tetapi memperbaiki kerusakan demi masa depan yang lebih baik untuk semua," ucapnya.

Asisten II Setdaprov Riau Helmi D mewakili Plt Gubernur Riau SF Haryanto menegaskan pemerintah provinsi memandang remediasi FSC sebagai upaya menghadirkan keadilan ekologis, sosial, dan ekonomi.

“Dampak persoalan bukan hanya lingkungan, tetapi menyentuh akses masyarakat terhadap air bersih, pangan, hingga konflik ruang yang memecah komunitas desa,” ujarnya.

Helmi menekankan bahwa rekomendasi desa tidak boleh berhenti sebagai dokumen, tetapi harus berubah menjadi agenda aksi.

"Remediasi FSC dapat menjadi platform penting yang menyatukan kepentingan masyarakat, pemerintah, dan korporasi," imbuhnya.(***)

Tags

Terkini