#Part 1

Prinsip Equality Before The Law dalam Proses Penegakan Hukum Pidana

Prinsip Equality Before The Law dalam Proses Penegakan Hukum Pidana
Mia Amiati
Oleh: Dr. Mia Amiati, SH, MH
 
LIPO - Masyarakat mulai  ramai membicarakan ketika media mengangkat berita  penangkapan tersangka tindak pidana pencabulan berinisial MSA di Jombang yang berstatus DPO (Daftar Pencarian Orang) oleh pihak kepolisian pada hari Minggu, 3 Juli 2022, berakhir sengit dan tersangka belum berhasil diamankan oleh aparat penegak hukum setelah tersangka MSA kabur dari pengejaran petugas. Imbas dari upaya paksa penangkapan terhadap tersangka, pihak tersangka dan keluarganya menuding proses penegakan hukum terhadap tersangka sebagai perbuatan fitnah, sebagaimana dinyatakan dalam surat Pernyataan Muhammad Mukhtar Mu'thi (Al Mursyid Thoriqoh Shiidiqiyyah) 4 Juli 2022. 

Hal tersebut tentunya sangat menggelitik pikiran masyarakat. Apakah status sosial tersangka tindak pidana dapat mempengaruhi proses penegakan hukum? Apakah seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka namun berstatus buron (DPO) dapat beralibi sebagai korban fitnah alih-alih membuktikan dirinya tidak bersalah dalam proses hukum?

Proses Penegakan Hukum Pidana

Merujuk pada Pasal 110 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum apabila telah selesai melakukan penyidikan. 

Setelah itu, Kejaksaan dalam hal ini Penuntut Umum sesuai kewenangannya akan menilai apakah berkas penyidikan telah lengkap atau belum sebagaimana ketentuan Pasal 138 ayat (1) KUHAP yang mengatur bahwa penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.

Apabila menurut Penuntut Umum berpendapat hasil penyidikan dinyatakan kurang lengkap, sesuai ketentuan Pasal 110 ayat (2) Jo. Pasal 138 ayat (2) KUHAP, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik dengan disertai petunjuk untuk dilengkapi. 

Jika berkas perkara sudah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan, penyidik kepolisian harus menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada kejaksaan agar dapat dilakukan proses penuntutan. Penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dari penyidik ke penuntut umum dapat dilakukan dalam 2 (dua) hal, yaitu:

1. Penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dalam hal penyidikan sudah selesai, sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai (berkas perkara dinyatakan P-21), penyidik harus  menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum untuk dapat dilakukan proses penuntutan.

2. Penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti atas permintaan Jaksa Penuntut Umum untuk kepentingan pemeriksaan tambahan sebagaimana kewenangan penuntut umum selaku pemegang dominus litis dan diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 yang menyatakan bahwa kejaksaan berwenang untuk melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Dalam hal hasil penyidikan sudah dinyatakan lengkap dan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti harus dilakukan dari penyidik kepada penuntut umum, ternyata tersangka tidak kooperatif dengan tidak memenuhi upaya pemanggilan yang dilakukan oleh penyidik bahkan mempersulit proses hukum, sudah selayaknya penyidik melakukan prosedur penerbitan status DPO (Daftar Pencarian Orang) atau Buron. 

DPO adalah orang-orang yang tercantum dalam daftar pencarian, yaitu mereka yang terjerat atau terlibat sebagai orang yang dicurigai ikut serta dalam sebuah kasus kejahatan. Istilah Buron atau DPO (Daftar pencarian Orang) tidak dikenal dalam Hukum Acara Pidana sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, namun diatur dalam Pasal 17 ayat (6) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan: "Tersangka yang telah dipanggil untuk pemeriksaan guna penyidikan perkara dan tidak jelas keberadaannya dicatat dalam Daftar Pencarian Orang dan dibuatkan surat pencarian orang". 

Orang yang menjadi DPO pada umumnya adalah orang yang berusaha melarikan diri atau melepaskan diri dari jerat hukum dengan cara bersembunyi agar tidak diketahui keberadaannya oleh aparat penegak hukum sampai tindak pidana yang disangkakan terhadapnya daluarsa sehingga proses hukum tidak dapat dilanjutkan.

Banyaknya tersangka dengan status DPO yang sudah jelas telah melarikan diri dari proses hukum namun masih dapat menggunakan hak-hak yuridisnya, misalnya dalam mengajukan gugatan praperadilan maupun permohonan Peninjauan Kembali hanya melalui penasehat hukum atau keluarganya, telah menginisiasi Mahkamah Agung mengambil langkah reformasi hukum. 

Melalui penerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) Dalam Perkara Pidana dan SEMA Nomor 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka Yang Melarikan Diri atau Sedang Dalam Status Daftar Pencarian Orang (DPO), ruang gerak tersangka berstatus DPO tesebut dibatasi dan dipaksa untuk menghormati proses hukum terlebih dahulu sebelum menggunakan hak-haknya dalam proses hukum pidana. 

Upaya paksa yang dapat dilakukan terhadap DPO adalah penangkapan. 

Berdasarkan Pasal 1 angka 20 KUHAP, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 

Sesuai Pasal 17 KUHAP, perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, frasa "pemulaan bukti yang cukup harus ditafsirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya". 

Penjelasan Pasal 17 KUHAP menguraikan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana, dimana wewenang penangkapan tersebut dilakukan oleh penyelidik atas perintah penyidik, penyidik dan penyidik pembantu.

Terhadap tersangka tindak pidana yang tidak menghormati proses hukum dengan lari atau menghindar dari proses pemeriksaan, sudah sepantasnya dilakukan upaya penangkapan sepanjang berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan telah terdapat bukti permulaan yang cukup, apalagi jika proses penyidikan justru telah dinyatakan sudah lengkap dan tersangka wajib diserahkan penyidik kepada penuntut umum. 

Jika tersangka dan barang bukti tidak diserahkan kepada penuntut umum, maka penuntut umum tidak dapat melakukan proses penuntutan dengan melimpahkan perkara ke pengadilan. Dalam proses pemeriksaan di pengadilan itulah akan dibuktikan apakah terdakwa telah melakukan tindak pidana tersebut atau tidak. 

Disamping bertujuan untuk melindungi kepentingan atau hak korban yang telah dilanggar oleh pelaku tindak pidana, tersangka/terdakwa dalam sidang peradilan juga memiliki kesempatan untuk membela diri dan membuktikan jika dirinya tidak bersalah.


Bersambung: ke #Part 2


Ikuti LIPO Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index