LIPO - Setidaknya ada 2,2 juta hektar kawasan hutan yang didunakan untuk perkembunan sawit dan pertambangan ilegal. Luasan itu tersebar di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah.
Semenjak UU Ciptaker digulirkan, langkah demi langkah pihak pemerintah berupaya melakukan penertiban terhadap pelaku aktivitas ilegal. Tidak hanya terhadap perkebunan atau pertambangan yang berada dalam kawasan hutan, juga terhadap kawasan penyangah atau hutan lindung yang saat luluh lantak.
Disatu sisi, masyarakat menaruh harapan terhadap semangat yang tertuang dalam UU Ciptaker, namun disisi lain tidak sedikit yang curiga UU Ciptaker hanyalah bumbu penyedap rasa belaka.
Dari lansiran republika.co.id pada Jumat (26/08/22), angka 2,2 juta hektar tersebut berdasarkan data satelit yang sampikan Direktur Jenderal Penegakkan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani.
Jumlah luasan itu berdasarkan dari hasil Pengecekan lapangan dilakukan oleh ratusan petugas KLHK pada 2021. Nah, 2,2 juta hektar itu akan diampuni menggunakan UU Cipta Kerja, sehingga bisa melanjutkan operasinya.
Berdasarkan pengecekan di lapangan itu, dari 2,2 juta haktar itu, terdapat 1.444.800 hektare hutan yang digunakan untuk berbagai aktivitas tanpa perizinan kehutanan di Provinsi Riau. Hutan seluas itu digunakan paling banyak untuk perkebunan sawit ilegal, yakni 1.351.816 hektare.
Sedangkan untuk pertambangan seluas 4.892 hektare hutan. Ada pula 85.369 hektare hutan yang digunakan untuk kebun campuran. Sisanya, 2.720 hektare digunakan untuk kegiatan lainnya.
Rasio Ridho Sani menjelaskan, bila dilihat dari aktornya, pihak korporasi adalah pelaku terbanyak yang menggunakan hutan tanpa izin di Riau. Perusahaan menggunakan 545.010 hektare hutan di Riau secara ilegal. Lalu disusul oleh perseorangan seluas 424.580 hektare. Selanjutnya kelompok masyarakat menggunakan 226.158 hektare. Sisanya dipakai oleh multi user, koperasi, dan pemerintah.
Sementara itu, di Provinsi Kalimantan Tengah terdapat 759.980 hektare hutan yang digunakan untuk aktivitas ilegal. Rinciannya, 653.113 hektare dipakai untuk kebun sawit, 106.820 hektare pertambangan, dan 48 hektare untuk penggunaan lainnya.
"Pengguna terbesar dari kegiatan tanpa izin di Kalteng adalah korporasi dengan luas 625.966 hektare hutan," kata Rasio dalam rapat panja Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, baru-baru ini.
Pengguna hutan ilegal terbesar kedua adalah kelompok masyarakat, yakni 84.387 hektare. Lalu perseorangan 33.950 hektare, koperasi 15.673 hektare, dan sisanya pemerintah.
Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mengatakan, keberadaan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan di dua provinsi itu akan diselesaikan menggunakan Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 110A menyatakan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki Perizinan Berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun.
Pasal 110B menyatakan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha, maka dapat melanjutkan kegiatannya asalkan membayar denda administratif.
"Kalau di Provinsi Riau banyak yang menggunakan 110B," kata Bambang dalam kesempatan sama.
Bambang mengatakan, denda yang dijatuhkan kepada pelaku menggunakan Pasal 110 B itu sekitar Rp 10 juta per hektare. Nilai denda itu lalu dikalikan dengan jangka waktu penggunaan hutan tanpa izin.
"Katakanlah 1 juta hektare dikali Rp 10 juta dan dikali jangka waktu pakai 5 tahun, ya dendanya sekitar Rp 50 triliun," ungkap Bambang.
Menyikapi keinginan pemerintah yang disampaikan pihak KLHK tersebut ditantang keras penggiat linkungan, Direktur Kaliptra Andalas, Romes Irawan Putra, SH.MH.
Kepada liputanoke.com pada Sabtu (27/08/22), Ia menyampaikan sikap tegasnya terkait sikap pemerintah yang dinilai tidak sedikitpun berpihak terhadap masyarakat disekitar kawasan, hanya berpihak kepada "cukong".
Putra asli Riau ini menjelaskan, bahwa UU Ciptaker saat ini masih dalam tahap revisi, maka turunan untuk penyelesaian dalam Kawasan Hutan itu ada di PP 23 dan 24 tahun 2021, artinya belum bisa dilaksanakan secara hukum, tapi selesaikan dulu ciptaker-nya.
"Kan diberi waktu dua tahun oleh MK, mestinya belum ada pengampunan, tapi kan setiap orang atau kepentingan melakukan inventarisir terhadap lahan-lahan yang ada dalam kawasan yang akan diajukan untuk "diampuni", jelasnya.
Terkait hitungan denda dan segalanya macamnya, dalam pasal 100 A dan 100 B itu belum menyatakan detail harga 1 hektar atau 1 pokok sawit, nanti ada denda atau sejumlah syarat jika itu mau "diampuni".
"Nah sekarang khan sudah ada sekitar 75 izin yang mau "diampuni", mestinya itu tidak terjadi karena sudah mengangkangi beberapa peraturan dan perundangan yang ada," Ungkap aktivis kelahiran Pangean, Kuansing ini.
Menurut Romes, semestinya penguasaan lahan secara ilegal sudah masuk ranah pidana, makanya gawatnya UU Ciptaker itu salah satunya, adalah seperti ingin mengakomodir kejahatan-kejahatan lingkungan yang sudah terjadi selama ini. Sehingga hak-hak masyarakat dalam atau disekitar kawsan tetap terabaikan.
"Artinya siapa yang kuat, siapa yang punya modal, siapa yang bisa bayar denda, diuntungkan. Sementara masyarakat yang berada atau disekitar kawasan itu tidak mendapatkan apapun. Orang-orang yang berkuasalah yang bisa, itu yang menjadi catatan bagi kita dalam proses UU Ciptaker," Kata Romes.
"Makanya dalam proses hingga kini belum kelihatan tuh proses yang dilakukan oleh DPR ataupun pemerintah, tapi tidak tau juga, mana tau dibelakang mereka sudah menyusun atau memperbaiki, karena UU Ciptaker kan dinyatakan cacat hukum," Jelaanya lagi.
Dan pada akhirnya bagi pelaku ilegal tersebut dikatakan Romes, malah tidak ada sanksi pidana.
"Karena dalam proses penegakkan hukum dalam KLHK menyatakan bahwa pidana itu tidak ada sanksi kurungan, nah itu yang membahayakan juga. Gawat kan?, hanya sanksi administrasi. Itu skemanya, perlakuan sama baik itu kawasan, konversi maupun hutan lindung," Ucapnya.
Artinya, bisa saja melakukan usaha ilegal dulu nanti diampuni asal ada bukti bongkar tanam.
"Akibatnya maka makin banyaklah pengusaha lahan secara ilegal," Kata Romes mencemaskan.
Romes menilai, keinginan pemerintah mengampuni usaha ilegal sangat menyalahi dan harus ditolak.
"Kita sangat menolak bila dilakukan, kecuali pengampunan itu untuk masyarakat yang ada didalam atau disekitar kawasan," Pungkasnya. (*1)
Sumber: republika.co.id