Ramai-ramai Tolak Ide Pemerintah Ampuni Pelaku Perambah Hutan Ilegal, Walhi: Sama Saja Melanggengkan Kerusakan Lingkungan

Ramai-ramai Tolak Ide Pemerintah Ampuni Pelaku Perambah Hutan Ilegal, Walhi: Sama Saja Melanggengkan Kerusakan Lingkungan
Salahsatu Alat Berat Diamankan Jajaran DLHK Riau di Kawasan Hutan Lindung/ist

LIPO - Sejumlah aktivis lingkungan ramai-ramai menentang sikap pemerintah melalui Kementerian LHK mengampuni para "perompak" hutan di sejumlah wilayah di Indonesia.

Para pelaku perambah hutan secara ilagal, yang jelas-jelas merugikan negara akan melenggang kangkung dibebaskan dari jeratan hukum hanya dengan skema pembayaran denda. Sedap bukan?.

Setidaknya, ada sekitar 2,2 juta hektar kawasan hutan yang didunakan untuk perkembunan sawit dan pertambangan ilegal. Luasan itu tersebar di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah.

Di Riau, terdapat 1.444.800 hektare hutan yang digunakan untuk berbagai aktivitas tanpa perizinan kehutanan di Provinsi Riau. Hutan seluas itu digunakan paling banyak untuk perkebunan sawit ilegal, yakni 1.351.816 hektare. Sedangkan untuk pertambangan seluas 4.892 hektare hutan. Ada pula 85.369 hektare hutan yang digunakan untuk kebun campuran. Sisanya, 2.720 hektare digunakan untuk kegiatan lainnya.

Sementara di Kalimantan Tengah, terdapat 759.980 hektare hutan yang digunakan untuk aktivitas ilegal. Rinciannya, 653.113 hektare dipakai untuk kebun sawit, 106.820 hektare pertambangan, dan 48 hektare untuk penggunaan lainnya.

Direktur Direktur Kaliptra Andalas, Romes Irawan Putra, SH.MH, mengatakan, langkah pemerintah mengampuni para pelaku/usaha ilegal dinilai telah mengangkangi beberapa peraturan dan perundangan yang ada. Menurutnya, semestinya penguasaan lahan secara ilegal sudah masuk ranah pidana.

"Makanya gawatnya UU Ciptaker itu salah satunya, adalah seperti ingin mengakomodir kejahatan-kejahatan lingkungan yang sudah terjadi selama ini. Sehingga hak-hak masyarakat dalam atau disekitar kawsan tetap terabaikan. Artinya siapa yang kuat, siapa yang punya modal, siapa yang bisa bayar denda, diuntungkan. Sementara masyarakat yang berada atau disekitar kawasan itu tidak mendapatkan apapun. Orang-orang yang berkuasalah yang bisa, itu yang menjadi catatan bagi kita dalam proses UU Ciptaker," Kata Romes kepada liputanoke.com, pada Sabtu (27/08/22).

Bila pemerintah tetap ngotot mengapuni dengan skema menggunakan Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, hanya memberlakukan sanksi administratif tanpa sanksi pidana, maka kejahatan perambahan hutan akan semakin marak. Bisa melakukan usaha ilegal dulu nanti juga bakal diampuni.

"Karena dalam proses penegakkan hukum dalam KLHK menyatakan bahwa pidana itu tidak ada sanksi kurungan, nah itu yang membahayakan juga. Gawat kan?, hanya sanksi administrasi. Itu skemanya, perlakuan sama baik itu kawasan, konversi maupun hutan lindung," Ucapnya.

Menanggapi ide pemerintah tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, menyatakan turut keberatan. Walhi Riau menilai, selain bertentangan dengan regulasi yang ada, rencana pengampunan terhadap lahan dan tambang ilegal tersebut bertentangan dengan semangat membangun lingkungan yang berkelanjutan dalam upaya pemanasan global yang menjadi komitmen Indonesia dan seluruh negara di dunia.

Manager Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau, Fandi Rahman, juga menyatakan, pengunaan pasal 110A dan pasal 110B Nomor 11 tahun 2020 UU Ciptaker untuk mengampuni pelaku perambahan hutan juga tidak tepat, dengan alasan karena pasal tersebut merupakan bagian pasal yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia juga mengungkapkan, berdasarkan investigasi dan kajian Walhi dengan mengambil sampel di 4 perusshaan yang melakukan penggunaan hutan ilegal terdapat konflik dengan masyarakat tempatan dan adat, juga termasuk dengan satwa.

"Umumnya juga berada di lahan gambut, bahkan ada yang di pinggir sungai. Sangat membahayakan. Termasuk potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Termasuk juga konflik dengan masyarakat adat juga satwa. Bila diampuni, sama saja pemerintah melanggengkan perusakan hutan," Kata Fandi kepada wartawan.

Sebelumnya diberitakan, bahwa pemerintah akan mengampuni keberadaan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan di dua provinsi itu akan diselesaikan menggunakan Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 110A menyatakan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki Perizinan Berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun.

Pernyataan itu diungkapkan Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, di dalam rapat panja Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, baru-baru ini.

Bambang mengatakan, denda yang dijatuhkan kepada pelaku menggunakan Pasal 110 B itu sekitar Rp 10 juta per hektare. Nilai denda itu lalu dikalikan dengan jangka waktu penggunaan hutan tanpa izin.

"Katakanlah 1 juta hektare dikali Rp 10 juta dan dikali jangka waktu pakai 5 tahun, ya dendanya sekitar Rp 50 triliun," Jelas Bambang. (*1)

 

 

 

 

 

Ikuti LIPO Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index