Perebutan Ketua Golkar Riau: Antara Loyalitas Kader dan Kepentingan Politik

Perebutan Ketua Golkar Riau: Antara Loyalitas Kader dan Kepentingan Politik
Amril Jambak/ist

Peta politik di tubuh Partai Golkar Provinsi Riau kembali memanas menjelang Musyawarah Daerah (Musda) yang akan menentukan siapa pemimpin baru partai berlambang pohon beringin itu.

Dua nama besar mencuat dan menjadi sorotan utama: Yulisman, kader senior sekaligus politisi yang berakar kuat di internal Golkar, dan SF Hariyanto, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau yang sedari awal dikabarkan mengincar partai berlambangkan pohon beringin ini.

Pertarungan keduanya bukan sekadar perebutan posisi, melainkan juga pertarungan antara loyalitas kader lama dan pengaruh kekuasaan eksekutif.

Yulisman dikenal sebagai politisi yang tumbuh dari rahim Partai Golkar. Ia pernah duduk di DPRD Riau, kini menjadi anggota DPR RI, dan selama ini aktif membesarkan partai di berbagai tingkatan. Pengalamannya dalam struktur partai membuatnya dipandang sebagai sosok yang “murni Golkar” dan memahami kultur internal organisasi yang terkenal solid namun hierarkis itu.

Dukungan terhadap Ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa (KAHMI) Provinsi Riau datang dari berbagai kalangan kader daerah. Ia telah resmi mendaftarkan diri sebagai calon Ketua DPD I Golkar Riau dan mendapat sinyal positif dari DPP. Dalam pandangan sebagian besar kader, Yulisman mewakili keberlanjutan dan konsistensi kaderisasi, dua hal yang menjadi fondasi kekuatan Golkar selama ini.

Di sisi lain, SF Hariyanto datang dengan modal politik berbeda. Sebagai Plt Gubernur Riau, ia memiliki kekuasaan eksekutif dan akses politik yang luas. Posisi ini menjadi keunggulan tersendiri, terutama dalam hal pengaruh terhadap tokoh-tokoh daerah dan jaringan birokrasi. Namun, langkah SF Hariyanto maju sebagai calon Ketua Golkar Riau memunculkan perdebatan di internal partai.

Beberapa organisasi sayap dan tokoh senior Golkar menilai SF Hariyanto adalah sosok “baru” dalam partai dan belum memiliki akar yang kuat di tubuh Golkar. Bahkan, sejumlah pernyataan publik menyebut bahwa sebagian besar pemilik suara Musda menolak kehadirannya, karena dianggap tidak melalui proses kaderisasi yang jelas. Ia juga disebut figur yang cukup “kontroversial”, sehingga memicu resistensi di kalangan internal partai.

Meski demikian, SF Hariyanto juga bukan tanpa dukungan. Sejumlah organisasi masyarakat di Riau menyebut bahwa “sinyal kemenangan ada di tangan SF Hariyanto”, menandakan bahwa ia memiliki basis dukungan eksternal yang tak bisa diremehkan.

Ujian Kepemimpinan DPP Golkar

Perebutan kursi Ketua DPD I Golkar Riau kali ini juga menjadi ujian bagi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar, terutama dalam hal menjaga netralitas dan konsistensi kaderisasi. Sebab, beredar isu bahwa DPP mungkin akan memberikan diskresi atau restu khusus bagi salah satu calon. Padahal, langkah semacam itu berpotensi memunculkan perpecahan di tingkat daerah.

Golkar Riau memiliki sejarah panjang sebagai salah satu basis kuat Golkar di Sumatra. Jika dinamika internal ini tidak dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin partai akan kehilangan soliditas menjelang Pemilu 2029. DPP harus menimbang dengan cermat, apakah akan memprioritaskan loyalitas kader atau mengakomodasi figur yang memiliki kekuatan politik di luar struktur partai.

Melihat dinamika saat ini, pilihan terhadap Yulisman tampak lebih rasional dan aman bagi keberlangsungan partai. Ia membawa legitimasi kader yang kuat, berpengalaman dalam struktur, serta relatif bebas dari polemik publik. Dukungan kader daerah terhadapnya pun menunjukkan bahwa mayoritas masih menginginkan kepemimpinan yang tumbuh dari dalam tubuh partai sendiri.

Sementara itu, pencalonan SF Hariyanto memang menarik dari sisi pengaruh politik, namun juga membawa risiko tinggi. Jika DPP memaksakan dukungan terhadap figur yang belum teruji secara internal, Golkar Riau bisa menghadapi resistensi bahkan perpecahan di tingkat bawah, sesuatu yang berbahaya menjelang masa konsolidasi menuju pemilu mendatang.

Menatap Masa Depan Golkar Riau

Golkar Riau memerlukan pemimpin yang tidak hanya populer, tetapi juga mampu merawat kader, memperkuat organisasi, dan mengembalikan semangat kebersamaan. Musda seharusnya menjadi ajang demokratis, bukan arena transaksional. Siapa pun yang terpilih, Golkar harus memastikan proses ini menjadi momentum konsolidasi, bukan fragmentasi.

Namun jika partai ingin mempertahankan jati dirinya sebagai partai kader, maka pilihan logis dan paling sehat untuk Golkar Riau saat ini adalah mengembalikan kepemimpinan kepada kader sejati disinilah nama Yulisman tampak lebih menjanjikan.

Golkar telah melewati banyak ujian sejak reformasi, dari konflik internal, perubahan kepemimpinan nasional, hingga dinamika elektoral. Perebutan kursi Ketua DPD I Riau hanyalah salah satu bab dari perjalanan panjang itu. Namun seperti pepatah lama Golkar: “yang bertahan adalah yang berakar.”
Dan dalam konteks Riau hari ini, akar itu tampaknya bernama Yulisman. (***)

*) Amril Jambak, Peneliti Centre of Risk Strategic Intelligence Assessment (Cersia)

Ikuti LIPO Online di GoogleNews

#Golkar

Index

Berita Lainnya

Index