Fahri Hamzah Sebut Pasal Panggil Paksa di RUU MD3 Pesanan Polri

Ahad, 11 Februari 2018 | 07:56:38 WIB
JAKARTA, LIPO-Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) kembali menuai polemik. Ini disebabkan karena adanya klausul dalam Pasal 73 yang menyebutkan DPR boleh memanggil paksa pihak-pihak yang mangkir dari panggilan sebanyak tiga kali.

Pemanggilan paksa tersebut menggunakan bantuan aparat kepolisian. Polisi juga diberi wewenang untuk menyandera obyek yang dipanggil paksa parlemen selama 30 hari.

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengatakan aturan pemanggilan paksa dalam revisi UU MD3 saat ini merupakan konsekuensi logis dari ketiadaan hukum acara pemanggilan paksa dalam UU MD3 yang lama.

"Sementara pasal tentang panggilan paksa sudah ada," ucapnya saat dikonfirmasi Okezone, Minggu (11/1/2018).

Politikus asal Sumbawa itu menjelaskan, sedianya Markas Besar (Mabes) Polri yang meminta DPR agar mencantumkan tata acara pemanggilan paksa dalam UU MD3 terhadap obyek yang dipanggil paksa parlemen.

"Mabes Polri waktu itu meminta agar DPR mencantumkan hukum acaranya. Sehingga ketika kita memberikan perintah kepada polisi, itu menjadi jelas bagi polisi bahwa itu perintah undang-undang," tutur Fahri.

Karena itu, lanjut dia, dengan adanya aturan tersebut dalam revisi UU MD3, maka kepolisian memiliki dasar hukum untuk melakukan pemanggilan paksa terhadap obyek yang mangkir dari panggilan DPR.

"Sehingga tidak ada lagi multi interpretasi. Bahwa pemanggilan paksa itu perintah UU (MD3) kepada kepolisian," jelas Fahri.

Sekadar informasi, Baleg DPR bersama pemerintah menyepakati aturan dalam revisi UU MD3 yang menyebutkan bahwa polisi dapat membantu DPR memanggil paksa lembaga atau individu yang mangkir dari panggilan. Dalam beleid tersebut, diatur pula agar polisi bisa menyandera objek yang dipanggil paksa DPR.

Hasil revisi UU MD3 tersebut rencananya akan disahkan menjadi undang-undang dalam sidang paripurna DPR beberapa waktu ke depan.(lipo*3/okz)

  


Terkini