LIPO - Kejaksaan Agung RI saat ini tidak lagi menitikberatkan penegakkan hukum kepada seberapa banyak perkara korupsi yang ditangani dan pelaku yang dihukum. Penegakan hukum yang awalnya represif dirubah menjadi preventif.
Pernyataan itu disampaikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Febrie Adriansyah, melalui Kepala Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Dr. Ketut Sumedana, melalui pesan tertulisnya kepada liputanoke.com, Sabtu (26/03/22).
"Ini bentuk upaya menjamin satu wilayah bebas dari korupsi, serta bagaimana kerugian keuangan negara dapat dipulihkan dengan menggunakan metode follow the money guna memaksimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil penyelamatan keuangan negara," ujar Ketut Sumedana.
Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah dengan membentuk Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgassus P3TPK) agar penanganan tindak pidana korupsi yang memiliki impact yang besar terhadap keuangan maupun perekonomian negara.
"Selain keberhasilan dalam penanganan tindak pidana korupsi, saat ini kami juga masih mendalami perkara pelanggaran HAM Yang Berat Paniai, yang hingga kini masih dalam proses pengumpulan alat bukti. Bentuk keseriusan Kejaksaan dalam menyelesaikan perkara HAM yaitu dengan Tim Penyidik Kasus Pelanggaran HAM yang berat Paniai yang masih terus bekerja dalam membuat terang peristiwa Paniai, untuk itu, dalam menjalankan tugas, kami meminta semua pihak untuk dapat mendukung Kejaksaan dalam penegakan hukum yang berkualitas dan humanis," ujar Ketut Sumedana.
Selanjutnya, Ketut Sumedana menjelaskan, upaya yang dilakukan untuk optimalisasi penyelamatan keuangan negara yang dilakukan oleh bidang tindak pidana khusus adalah dengan mengoptimalkan penanganan perkara tindak pidana korupsi, yang dilaksanakan melalui strategi, yaitu pertanggungjawaban pidana tidak hanya diarahkan kepada subyek hukum orang perseorangan akan tetapi juga subyek hukum korporasi dengan tujuan bahwa pemidanaan tidak hanya diarahkan kepada subyek hukum orang perseorangan akan tetapi juga subyek hukum korporasi adalah selain untuk memunculkan efek penjeraan tetapi juga akan menghasilkan pendapatan negara, karena korporasi sebagai pelaku tindak pidana akan dihukum untuk membayar denda.
"Lalu penerapan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya fokus pada pembuktian unsur merugikan keuangan negara, tetapi juga pembuktian unsur merugikan perekonomian negara. Pengoptimalan ini dipandang perlu karena penanganan perkara tindak pidana korupsi saat ini hanya menitikberatkan kepada pemulihan keuangan negara sedangkan di sisi lain kerugian perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi belum menjadi pedoman standar penanganan oleh aparat penegak hukum di Indonesia, hal ini menimbulkan tingkat pemulihan keuangan negara sering kali tidak sebanding dengan opportunity cost dan multiplier economy impact yang timbul sebagai akibat terjadinya tindak pidana korupsi," ujar Ketut Sumedana.
Dikatakan kata Ketut Sumedana, penerapan secara konsisten tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan tindak pidana asal tindak pidana korupsi. Penerapan secara konsisten tindak pidana pencucian uang (TPPU) selain untuk efek penjeraan, juga sebagai upaya untuk penyelamatan keuangan negara dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Adapun strategi atau upaya diatas diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi dan efek penjeraan (deterrent effect) kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi, optimalisasi asset recovery sebagai upaya penyelamatan dan pemulihan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang terjadi sebagai akibat tindak pidana korupsi serta meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai kemanfaatan praktis pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi," ujarnya.
Pernyataan JAM-Pidsus disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Anggota Komisi III DPR RI pada Rabu 23 Maret 2022 bertempat di Ruang Rapat Komisi III DPR RI.
Disamping itu saat ini Kejagung RI juga sedang melakukan upaya penegakan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Fadil Zumhana, melalui Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Dr. Ketut Sumedana, mengatakan, upaya restoratif justice bertujuan untuk mengembalikan kondisi di masyarakat seperti semula dan dapat menjadi suatu alternatif dalam penyelesaian suatu tindak pidana, artinya penyelesaian tindak pidana tidak selalu bersifat retributif (pembalasan).
Ketut Sumedana menjelaskan, Restorative Justice kiranya dapat menjadi solusi dalam penyelesaian sejumlah kasus tindak pidana yang "ringan" dan mencederai rasa keadilan di masyarakat, seperti kasus seorang nenek dipidana dikarenakan mengambil beberapa buah kakao dan seorang kakek dipidana karena mengambil getah karet yang jika dirupiahkan nilainya kurang lebih 17 ribu rupiah.
Kasus tersebut tentunya mencederai hati nurani masyarakat dan para pencari keadilan, bahkan semakin menasbihkan pepatah "hukum tumpul keatas dan tajam kebawah".
Oleh karena itu kiranya dirasakan perlu adanya suatu alternatif penegakan hukum yang lebih membumi, yang lebih ideal yaitu restorative justice.
"Penyelesaian perkara melalui Restorative Justice mendapat respon yang sangat positif dari masyarakat, terbukti dengan banyaknya permintaan agar penyelesaian perkara dilakukan melalui proses penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum telah beberapa kali mengeluarkan petunjuk teknis dalam pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, terakhir dengan surat edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: 01/E/Ejp/02/2022 Tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif," ujar Ketut Sumedana. (*1)