LIPO - Judul diatas mengambarkan betapa dinamisnya perpolitikan di tanah air kita, bukan hanya di tingkat Nasional, tapi juga terjadi di tingkat Daerah.
Sementara rakyat pendukung konsisten dan fanatik mendukung favoritnya masing-masing, yang didukung justru mengeluarkan jurus-jurus bola liar yang sulit ditebak.
Ditambah lagi figur-figur elite dari yang tadinya galak pada satu pihak, tanpa diduga berubah sikap menjadi jinak pada pihak yang dulu rajin mereka kritik dan nyinyiri.
Menjelang pesta politik 2024, masing-masing partai mulai menyiapkan jurus-jurus pemungkas untuk meraih simpati masyarakat. Bahkan, jurus-jurus tersebut dikeluarkan lebih dulu sebelum lawan datang.
Ditingkat pusat tiga partai deklarasi membangun koalisi. PAN, PPP dan Golkar membetuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Untuk di tingkat daerah, khususnya Riau, kita juga bisa sedikit mengulik Koalisi KIB, betapa politik itu kadang sulit ditebak.
Koalisi ini dapat menjadi gambaran bagi kita betapa politik itu kadang "kusut-kusut bulu ayam", kadang bermuka kecut masam seperti istri kurang dikasih uang belanja sayur, kadang bermuka manis seperi gadis baru bangun tidur.
Masih ingatkah dulunya kader PAN dan Golkar di Riau saling barbalas pantun gegara Syamsuar yang diharapkan menjadi kader PAN tiba-tiba kembali ke pangkuan Golkar ?. Perang komentar pun tak terelakan di media online dan media sosial. Kader PAN sebut begitu kader Golkar jawab begini. Kisahnya silahkan anda googling...
Meskipun dulu ibaratnya sempat 'adu pungung', kini mereka diharuskan 'adu senyum', satu jurus satu kuda-kuda.
Fenomena ini menurut Dwiyanto (2002) Dosen Prodi Hubungan Internasional Fisip Unpas yang dilansir jabarekspres.com, pada Senin, 17 Januari 2022, dapat diartikan sebagai gambaran seberapa jauh proses politik yang berlangsung mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan akuntabilitas.
Dinamika politik memberi pandangan bahwa seni dan budaya lokal merupakan medium untuk mengekspresikan aspirasi dan kepentingan politik yang sangat penting bagi komunitas lokal.
Sensitifitas terhadap informalitas masyarakat merupakan cara dalam memahami dinamika politik.
Hal yang mempengaruhi dan sering muncul dalam dinamika politik adalah Money politics (politik uang) yang semakin ternormalisasi sebagai tatanan baku dalam dinamika politik.
Sedangkan dinamika politik di Indonesia dewasa ini sudah mulai dan terus menghangat menjelang pergantian kepemimpinan nasional dalam 2024.
Juga muncul fenomena partai politik yang mulai menggeliat mencari partner untuk bersaing dalam kontestasi Pemilu yang akan datang.
Memang beberapa tahun terakhir, dinamika politik Indonesia sulit ditebak. Seperti sulit ditebaknya supir angkot, kapan mau berhenti, kapan mau ngetem dan sebagainya.
Atau juga seperti ibu-ibu yang membawa sepeda motor, yang kadang zigzag, kadang pula lampu kekiri, namun belok ke kanan. Itulah suasana politik Indonesia.
Sama seperti sulit dimengertinya suasana Pasca Pemilu tahun 2019. Dalam 2 periode kepresidenan Indonesia (2014 dan 2019).
Masyarakat Indonesia seakan terbelah jadi dua kubu, disatu sisi mereka berada di belakang Jokowi, dan disisi lain, mereka berada di barisan Prabowo.
Saling ejek, saling sikut, perang opini, bahkan kadang perang phisik pun terjadi. Dalam dua kali berhadap-hadapan, Jokowi menang, pendukung Prabowo kecewa.
Namun masyarakat Indonesia tiba-tiba dikejutkan dengan merapatnya Prabowo ke kubu pemerintahan Jokowi, dan menjadi pembantu presiden untuk mengurusi pertahanan keamanan. Kemudian pasangannyapun, Sandiaga Uno turut menjadi menteri dalam resafle yang dilakukan oleh presiden.
Konon dari kabar yang beredar, merapatnya Prabowo ke pemerintahan Jokowi, diawali dengan silaturahimnya Prabowo ke kediaman Ketua Umum PDIP, Mbak Megawati di jalan Teuku Umar.
Suasana yang tadinya berhadap-hadapan dan seakan-akan Indonesia mau terpecah jadi dua, tiba-tiba mencair, gara-gara Mbak Mega menghidangkan makanan kesukaan Prabowo, yaitu "nasi goreng" buatan mbak Mega.
Pak Prabowo sangat merindukan nasi goreng buatan mbak Mega, yang menurut pengakuannya tidak ada yang menandingi.
Dengan demikian suasana hiruk pikuk di Indonesia mampu diademkan dengan sepiring nasi goreng.
Kalo di ilustrasikan, kepentingan dan suasana kebatinan sehebat apapun yang terjadi dalam dinamika politik Indonesia, dapat dinetralkan dengan makanan. Pemenuhan isi perut dapat merubah pola pikir dan pola tindak.
Dengan demikian, diplomasi nasi goreng, adalah diplomasi rekonsiliasi setelah Pilpres, yang dilakukan oleh pemimpin partai yang bersaing, dan menu yang disuguhkan adalah nasi goreng.
Bagi Prabowo bukan hanya rasanya enak, namun mengingatkan kebersamaan Megawati-Prabowo (MegaPro) pada 2004, ketika bersaing memperebutkan kursi kepresidenan dengan SBY.
Karena disuguhi makanan kesukaan, maka akhirnya dapat mendinginkan suasana menjadi lebih adem.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya 2021, ketika masyarakat sudah mulai tidak mengingat-ingat diplomasi nasi goreng ala MegaPro.
Untuk KIB di Riau, sudahkah Alfendri dan Syamsuar makan nasi goreng bersama?. Atau sudahkan kader PAN dan Golkar nyerumput kopi racikan Syamsurizal?. Atau jangan-gangan masih saling senyum-senyum kecut limau asam?.
Demikian, dinamika politik di Indonesia tidak jauh dari makanan, atau pemenuhan perut. Sebab mendamaikan Indonesia yang terbelah pasca Pilpres 2019.
Kiranya cukup efektif disatukan dengan "diplomasi nasi goreng" dan menatap Indonesia kedepan menjelang Pilpres 2024, dirancang melalui "diplomasi segelas kopi".
Jadi sebenarnya simpel dinamika politik di Indonesia, tidak mesti dengan teori canggih dari barat, cukup dengan membahas soal kuliner, soal makanan atau soal minuman. (*1)