Titik Keseimbangan Kebijakan Lingkungan Hidup Indonesia

Titik Keseimbangan Kebijakan Lingkungan Hidup Indonesia
Dr.Afni Z, M.Si/ist

Dr.Afni Z, M.Si

Permasalahan dan tantangan lingkungan hidup Indonesia telah mengalami turbulensi dari masa ke masa. Dengan langkah koreksi (corrective policy) yang terstruktur, dan konsep kerja leading by example alias memberi bukti bukan semata janji, kini arah kebijakan Indonesia sedang konsisten menuju titik keseimbangan ekonomi dan lingkungan.

Pada UU 41 tahun 1999 disebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan harus berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Hasil pemantauan hutan Indonesia tahun 2022 menunjukkan bahwa luas lahan berhutan Indonesia adalah 96 juta ha atau 51,2 % dari total daratan, dimana 92 % dari total luas berhutan atau 88,3 juta ha berada di dalam kawasan hutan. Pemerintah Indonesia kini tidak hanya mengaturnya dengan hukum normatif saja.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Prof.Dr.Siti Nurbaya Bakar, M.Sc menyatakan bahwa melihat isu lingkungan dan kehutanan kini tidak semata dari sisi kebijakan saja, tapi juga memerlukan beyond law yaitu moral. Hutan bisa dikelola dengan baik dan memberi nilai ekonomi yang besar bilamana memenuhi syarat, yaitu sustainable secara ekologi dan acceptable secara sosial budaya.

Karena itupula posisi pemerintah selama dua periode pemerintahan ini konsisten melakukan transformasi kebijakan dan langkah korektif, dengan terus mengembangkan pembangunan sektor lingkungan hidup dan kehutanan, serta sumber daya alam yang memegang teguh asas keberlanjutan (suistanability) dengan pilar Environmental, Social, dan Governance (ESG).

Banyak langkah korektif yang dilakukan pemerintah, salah satunya menemukan titik keseimbangan melalui keadilan alokasi akses rakyat dalam mengelola hutan. Sebelum 2017, akses untuk rakyat hanya 4 % dan untuk korporasi 96 %. Per akhir tahun 2023, akses untuk rakyat meningkat jadi 18 % atau terjadi kenaikan lebih dari 400%. Lebih dari 10 juta ha diakses masyarakat melalui kebijakan hutan sosial dan reforma agraria.

Pencapaian indikator pembangunan sektor kehutanan, menjadi titik balik mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat adat. Dimana untuk pertama kalinya Negara mengakui keberadaan masyarakat adat dengan penyerahan SK hutan adat pada tanggal 31 Desember 2016.

Selanjutnya realisasi hutan adat terus bergulir. Lebih dari 75 ribu Kepala Keluarga menerima 131 SK hutan adat, mengakses sekitar 250 ribu ha kawasan hutan di 18 Provinsi. Selain itu dalam proses administrasi, terdapat wilayah indikatif hutan adat dan mantap menjadi hutan adat yang tidak dapat diganggu untuk penggunaan lain seluas 840.144 ha pada 16 Provinsi.

Indonesia juga menjadi salah satu negara pemilik hutan terluas di dunia yang berhasil menekan produksi emisi dari kebakaran hutan dan lahan hingga 60%. Bahkan saat musim El Nino 2023, Indonesia mampu menekan karhutla sebesar 30,80% dibanding tahun 2019 dengan pengaruh El Nino yang hampir sama dan tidak ada asap lintas batas.

Menurut data World Resources Institute Global, di hampir satu dekade pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia juga berhasil menjadi negara dengan tingkat penurunan deforestasi di dunia sebesar 65%. Faktanya, deforestasi tertinggi pernah terjadi pada periode tahun 1996 sampai 2000, sebesar 3,5 juta ha per tahun; periode 2002 sampai 2014 sebesar 0,75 juta ha per tahun; dan mencapai titik terendah laju deforestasi pada tahun 2022 sebesar 104 ribu ha.

Respon Indonesia untuk iklim global juga telah ditandai dengan komitmen Indonesia meningkatkan ambisi NDC per 23 September 2022, dengan target penurunan emisi dari 29% di first NDC dan update NDC meningkat menjadi 31,89% tanpa syarat dan dari 41% meningkat menjadi 43,20% dengan dukungan Internasional.

Enhanced NDC ini adalah transisi menuju Second NDC yang akan diselaraskan dengan Long Term Low Carbon and Climate Resilience Strategy (LST-LCCR) 2050 dengan visi untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Adapun capaian penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dalam tiga tahun terakhir telah melampaui target penurunan emisi GRK dalam NDC Indonesia yaitu 31,89 % CM1 (penurunan emisi GRK dengan kapasitas pendanaan secara nasional).

Indonesia lantas memantapkan diri menjadi satu-satunya negara penerima Result Based Payment/RBP REDD+ dari GCF, Norwegia, dan FCPF. Komitmen total CioCF (USD 70 juta) dan FCPF (USD 120 juta).

Khusus kerjasama dengan Norwegia, pada 13 Desember 2023 telah dilakukan penandatanganan komitmen kontribusi kinerja penurunan deforestasi/RBP, yang dibayarkan untuk kinerja penurunan deforestasi tahun 2017/18 dan tahun 2018/2019. Nilainya mencapai 100 juta USD. Sebelumnya pada Oktober 2022, Norwegia telah menyalurkan kontribusi kinerja RBP kepada Indonesia sebesar 56 juta untuk kinerja penurunan deforestasi tahun 2016/2017.

Berbagai pencapaian ini menandakan bahwa Indonesia on the track menuju target iklim FOLU Net Sink 2030, sebagai satu rencana operasional yang sangat ambisius dengan mencakup seluruh aspek kebijakan yang diambil pemerintah untuk menjaga titik keseimbangan antara lingkungan dan ekonomi.

Inilah yang kemudian dinyatakan oleh Menteri Siti Nurbaya sebagai refleksi bahwa hal-hal yang deliverable, tangible, dan bermanfaat langsung untuk masyarakat dapat menjadi kenyataan dan menjadi catatan progres kebijakan lingkungan hidup dan kehutanan. Dimana Indonesia telah menekankan aksi-aksi iklim yang konkrit, dengan contoh-contoh yang nyata, bukan sekedar pledge atau janji.

Dalam rangka itu pula, sudah tepat bila Menteri LHK Siti Nurbaya menyatakan bahwa pihaknya akan terus mengikuti turbulensi dan berproses menuju titik keseimbangan ekonomi dan lingkungan, dengan terus membangun paradigmatik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, dengan pijakan sustainability dengan pendekatan Environment, Social dan Governance (ESG).

Pesan kunci lain yakni pentingnya mendorong percepatan rekonfigurasi skenario bisnis berbasis sumber daya alam, dari big-resources and small value, menuju small-resources and big value (bio-prospecting dan teknologi sebagai basis). Serta pentingnya optimalisasi perijinan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan (hutan) untuk investasi berwawasan lingkungan, dan membangun produktifitas rakyat.

Untuk itu perlu penguatan instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan, serta perangkat perencanaan, pengawasan dan pengendalian (Renwasdal) untuk memastikan terwujudnya investasi berwawasan lingkungan. Serta pentingnya aktualisasi Nilai Ekonomi Karbon untuk pengendalian emisi GRK dalam pembangunan ekonomi nasional dan stimulasi ekonomi.

Tren green lifestyle juga membuka ruang keadilan iklim dengan melibatkan generasi muda, dengan terbangunnya Green Leadership Indonesia (GLI). Inilah program pendidikan kepemimpinan bagi anak muda secara sistematis dan meluas dengan tujuan memfasilitasi tumbuhnya pemimpin dengan perspektif keadilan sosial dan ekologis di semua segmen masyarakat. Di Indonesia sendiri, 65 juta orang atau 28 persen di antara penduduknya, berada pada kategori millenial. Harapannya akan muncul keteladanan sejak dini untuk keadilan ekologis.

Keteladanan dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia, kini terus diwujudkan dalam bentuk keseimbangan yang berkeadilan. Yakni dengan merumuskan dan mewujudkan alokasi sumber daya alam yang seimbang. Yaitu alokasi sumber daya alam yang tidak hanya memperhatikan kebijakan pemerintah, tapi juga turut memperhatikan kehendak pasar dan sebesar-besarnya dicapai untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Dengan transformasi ekonomi lingkungan menuju titik keseimbangan ini, Indonesia terbukti mampu berkontribusi memberikan keteladanan bagi masyarakat di tingkat tapak, hingga keteladanan bagi masyarakat global. Semuanya bertujuan untuk bumi dan seisinya hari ini, dan demi masa depan yang berkelanjutan.***

*Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, Riau

Ikuti LIPO Online di GoogleNews

#KLHK

Index

Berita Lainnya

Index