JAKARTA, LIPO - Deklarasi pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan hutan serta lahan secara lestari melalui pengembangan program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), penguatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat, mobilisasi investasi hijau, penerapan solusi berbasis riset, serta penguatan kelembagaan kolaboratif guna mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Provinsi Riau.
Program ini menjadi simbol gerakan bersama untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, memberdayakan masyarakat, serta merestorasi ekosistem demi masa depan yang lebih lestari.
Gas rumah kaca, yang menjadi penyumbang utama krisis iklim melalui peningkatan suhu bumi, kini menjadi fokus penanganan Pemprov Riau melalui program ini.
Romes Irawan Putra sebagai Ketua Dewan Pengurus Kaliptra Andalas menyampaikan apresiasi terhadap komitmen ini, dan semoga berdampak baik bagi tata kelola kehutanan, perkebunan sawit serta tambang karena mereka penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Provinsi Riau.
“Saya merasa dejavu dengan komitmen ini, dulu sudah ada komitmen ini bahkan sudah ada satgas nya melalui Keputusan Gubernur Riau No. Kpts.833/VII/2011 tanggal 21 Juli 2011 jo Keputusan Gubernur Riau No. 359/IV/2012 tanggal 20 April 2012 (Revisi) bagaimana hasilnya? Apakah berdampak baik? Malah Deforestasi terus terjadi, kerusakan gambut menjadi-jadi, konflik masyarakat dengan perusahaan tak terhindari dan restorasi ekosistem tak dari hati,” ucap Romes, kepada liputanoke.com, pada Jumat (09/05/25).
Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), kawasan hutan produksi di Provinsi Riau seluas 9.456.160 ha. Kawasan hutan produksi yang telah dimanfaatkan untuk IUPHHK dan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHH-BK) sesuai SK.IUPHHK dan SK.IUPHHBK seluas 1.862.100 ha yang terdiri dari IUPHHK-HA seluas 318.498 ha atau sebanyak 8 unit, IUPHHK-HTI seluas 1.509.702 ha IUPHHK-HTI sebanyak 48 unit dan IUPHH-BK seluas 21.620 ha sebanyak 1 unit serta seluas 12.280 ha dicadangkan untuk IUPHHK-HTR. Luas tersebut berbeda dengan laporan triwulan III yang dilaporkan seluas 1.988.115 ha. Perubahan tersebut disebabkan 2 unit IUPHHK-HA di Provinsi Riau telah berakhir izinnya dan tidak diperpanjang (IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Hutan Tanaman) telah diganti menjadi PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. 8 Tahun 2021.
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016, luas kawasan hutan di Provinsi Riau mencapai ±5.406.992 hektar. Data tutupan lahan tahun 2022 menunjukkan bahwa sebagian besar tutupan hutan di Prov. Riau berada di kawasan hutan produksi seluas 4.493.538,25 ha (82,99%), hutan lindung seluas 229.805,58 ha (4,24%), taman nasional seluas 221.505,59 (4,09%), dan suaka margasatwa seluas 369.639,47 (6,83%)
Selain itu lahan perkebunan dengan luas 4.408.414,05 ha (48,95%), dan pertanian lahan kering seluas 1.462.345,48 ha (16,24%). Komoditas tanaman perkebunan strategis yang banyak dikembangkan adalah sawit.
“Belum lagi kita bicara soal gambut, luas lahan gambut di Riau 5,3 juta hektar. Riau memiliki lahan gambut terluas di Pulau Sumatera, Meskipun luas, sekitar 2,31 juta hektar lahan gambut di Riau telah mengalami degradasi, yang menunjukkan adanya ancaman terhadap ekosistem ini dan memiliki potensi dalam menyimpan karbon sebesar +14.605 juta ton, yang menjadikan Provinsi Riau memainkan peranan yang sangat penting dalam lingkungan lokal dan juga lingkungan global. Selama tahun 2016-2022, pemerintah pusat telah melakukan restorasi gambut di Riau seluas 209.977 hektar, termasuk pembangunan sekat kanal sebanyak 1.618 unit. Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mencatat 3.207 hektare lahan terbakar dalam periode Januari-22 April 2025. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) itu terjadi di 1.227 hektar lahan gambut dan 1.980 hektar tanah mineral. Karhutla di Riau terjadi di Kabupaten Pelalawan seluas 639 hektar, Bengkalis 48 hektar, Dumai 7,5 hektar, serta Kepulauan Meranti 3,5 hektar,” kata Romes memaparkan datanya.
Dengan dinamika di atas kata Romes, bagaimana metode dan strategi serta keseriusan Gubernur dalam mengimplementasikan komitmen GREEN for Riau ini?.
“Para pihak ini terutama konsesi HTI & sawit apakah serius melaksanakan Rencana Aksi yang nanti akan disepakati bersama? Jangan ini hanya jadi rapor hijau bagi mereka saja,” kata Romes.
Komitmen dan Kebijakan SFMP (Sustainable Forest Management Policy) adalah kebijakan yang ditetapkan oleh APRIL Group untuk mengelola hutan secara berkelanjutan dan Kebijakan Forest Conservation Policy (FCP) dari Asia Pulp & Paper (APP) adalah komitmen perusahaan untuk melindungi hutan alam, mengelola lahan gambut secara berkelanjutan, dan mencegah deforestasi.
“Apakah di lapangan dilaksanakan diimplementasikan dengan baik dan benar?” tanya Romes.
Romes berharap semoga dengan di launchingnya Green For Riau, bisa berdampak baik bagi tata kelola lingkungan hidup yang baik, terutama kerusakan ekosistem gambut yang menjadi biang pemanasan global dan tentu mengutamakan kepentingan masyarakat.
“Semoga ini bukan hanya seremonial saja, tapi bisa diimplementasikan oleh pemerintah provinsi riau dan stakeholder lainnya. Selain persoalan lingkungan hidup, kerusakan gambut, konflik sumberdaya alam, perlu di perhatikan juga oleh gubri tentang tata kelola hulu dan hilir dari konsesi HTI dan sawit karena mereka penyumbang terbesar terjadinya perubahan iklim,” tukas Romes.