PEKANBARU, LIPO - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Riau memproyeksikan seluruh daerah di Provinsi Riau akan mengalami penurunan pendapatan yang signifikan pada 2026 akibat kebijakan pemerintah pusat yang memangkas dana Transfer Ke Daerah (TKD) hingga 25% dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Berdasarkan analisis Nota Keuangan RAPBN 2026, pemotongan dana TKD mencapai Rp6,39 triliun untuk Provinsi Riau dan 12 kabupaten/kota di dalamnya. Kebijakan ini dinilai mengancam pemenuhan pelayanan dasar publik dan berpotensi melebarkan kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah.
"Pemangkasan dana TKD ini harus disertai alasan hukum yang kuat dan perhitungan yang adil. Dana Bagi Hasil (DBH) tidak bisa semena-mena dipotong karena formula pembagiannya telah diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD)," tegas Koordinator FITRA Riau Tarmidzi dalam rilisnya, Jumat 29 Agustus 2025.
Secara rata-rata, pendapatan daerah di Riau diproyeksikan anjlok antara 11% hingga 22%. Provinsi Riau mengalami penurunan terendah sebesar 11,4%, sementara Kabupaten Rokan Hulu mencatat penurunan tertinggi sebesar 22,0%.
Sejumlah kabupaten lain juga mengalami penurunan drastis, seperti Rokan Hilir (21,7%), Indragiri Hilir (21,5%), Indragiri Hulu (21,5%), Kuansing (21,5%), Kampar (20,9%), Siak (20,5%), dan Pelalawan (20,0%). Kemudian, Kepulauan Meranti (19,8%), Bengkalis (18,9%), Kota Dumai (14,3%), dan Kota Pekanbaru (14,7%).
Penurunan ini berasal dari komponen Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Desa, dan Insentif Fiskal.
Ancaman terhadap Layanan Publik dan Kemandirian Daerah
FITRA Riau menilai, kebijakan ini semakin memperparah kapasitas fiskal daerah yang selama ini sudah rendah. Sebagian besar pendapatan daerah masih bergantung pada DBH dari sektor ekstraktif (minyak, gas, pertambangan, hutan, dan perkebunan) yang rentan fluktuasi harga global.
"Di sisi lain, diversifikasi ekonomi daerah melalui pengembangan sektor industri, pariwisata, dan UMKM untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) berjalan lambat," jelasnya.
Ketergantungan pada dana transfer pusat juga sangat tinggi di tingkat kabupaten/kota. Pada 2025, kontribusi dana transfer mencapai rata-rata 78%, sementara PAD hanya sekitar 22%. Sementara Provinsi Riau relatif lebih aman dengan kontribusi dana transfer 45% dan PAD serta pendapatan lain-lain sebesar 55%.
Dampak penurunan ini akan langsung terasa pada pelayanan dasar di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta program penanggulangan kemiskinan. Daerah dengan PAD rendah juga berisiko tinggi mengalami krisis keuangan.
FITRA Riau memberikan sejumlah rekomendasi untuk mengantisipasi krisis ini:
1. Untuk Pemerintah Pusat: Menata ulang kebijakan pemangkasan TKD, membuka dasar perhitungannya untuk transparansi, dan menyiapkan safety net bagi daerah dependen, seperti insentif fiskal, relaksasi penggunaan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA), dan akses pinjaman lunak.
2. Untuk Pemerintah Daerah: Melakukan spending review terhadap program yang tidak berdampak langsung pada layanan dasar dan pengentasan kemiskinan, serta melakukan reformasi birokrasi melalui perencanaan berbasis kinerja, digitalisasi layanan, dan optimalisasi aset.
3. Konsolidasi Daerah: Pemerintah daerah di Riau perlu berkonsolidasi, misalnya melalui asosiasi pemerintah daerah, untuk menyampaikan pandangan dan tekanan kepada pemerintah pusat sebelum APBN 2026 ditetapkan.******