Jangan Buru-buru Sahkan Perda RTRW

Jangan Buru-buru Sahkan Perda RTRW
Ade Idra Suhada/LIPO 
BENGKALIS, LIPO - Desakan terhadap ratifikasi Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) mencuat akhir-akhir ini. Dari informasi yang didapat bahwa pemerintah pusat menegaskan setiap pemerintah daerah untuk segera mempercepat pembentukan Peraturan Daerah tentang RTRW. 

Salah satu Kabupaten yang belum memiliki Peraturan Daerah RTRW terbaru adalah Kabupaten Bengkalis.

Sejatinya RTRW Kabupaten Bengkalis telah habis masa berlaku pada Tahun 2014. RTRW Kabupaten Bengkalis disahkan pada tahun 2004 silam.

Instruksi Undang-Undang RTRW telah melahirkan sebuah titah tertulis, bahwa setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki aturan main dalam tata ruang dan wilayah agar pembanguan terarah kedepannya.

Dalam pasal 26 ayat 4 dalam UU RTRW secara gamblang menyebutkan bahwa masa atau jangka waktu rencana tata ruang wilayah kabupaten mencapai 20 (dua puluh) tahun mendatang. Artinya dengan demikian, bahwa dokumen RTRW tidak boleh disusun secara sembrono tanpa memperhatikan kepentingan objek hukum yang dibuat. Paling tidak terdapat kepentingan pemerintah kabupaten Bengkalis, swasta atau investor, bahkan yang paling penting adalah kepentingan masyarakat luas umumnya.

Belum lagi jika kita bicara tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Kedua dokumen ini menjadi sangat sentral dalam pembangunan daerah.

Jika dikaitkan dengan RTRW maka RPJP/RPJM harus selaras dan koheren. Tidak boleh terpisah dan harus saling terkoneksi satu dengan yang lain.

Terdapat perbedaan yang prinsipal antara RTRW dengan RPJP/RPJM. RTRW bicara tentang arah pembangunan yang bersifat spasial dan berimplikasi pada keruangan, sedangkan RPJP/RPJM bicara tentang legalitas atau boleh tidaknya sebuah pembangunan itu dilakukankan berdasarkan dokumen RTRW yang telah disepakati.

Keselerasan dokumen ini menjadi vital didalam pembangunan daerah. Pertanyaannya apakah pemerintah kebupaten Bengkalis dan pihak Legislatif sudah sepakat dengan dua dokumen sakti ini?. Jangan sampai terjadi kontra produktif antara muatan kebijakan pada dokumen RTRW dengan dokumen RPJP/RPJM yang ada.

Selanjutnya, yang menjadi tidak kalah menarik adalah bagaimana isi dan muatan Peraturan Daerah RTRW yang akan disahkan oleh pihak legislatif dan eksekutih pemerintah Kabupaten Bengkalis. Tentu kita tidak mau ada hal yang tidak proporsional pada bidangnya masing-masing.

Harus diakui tragedi Bengkulu beberapa waktu lalu adalah bentuk lalainya Pemerintah dalam mengatur dan mengurusi masalah hak para pengguna kawasan hutan.

Apakah kesalahan terletak pada Bongku atau Perusahaan?, tentu jawabannya bisa iya bisa tidak, mengingat masing-masing pihak memiliki pijakan hukum masing masing.

Sesungguhnya dalam konsep Reinventing Goverment, pemerintah bertindak sebagai katalisator. Secara implisit hal ini mengandung pemikiran bahwa pemerintah lebih banyak memberikan peran dan tanggung jawab kepada swasta dan masyarakat untuk menyelenggarakan urusannya, baik melalui privatisasi, lisensi, konsesi, kerjasama operasional, dan sebagainya. Dengan kata lain, pemerintah lebih banyak merangkul masyarakat dan swasta untuk bersama-sama memikul suatu tangung jawab atau urusan.

Dalam kasus Bongku yang diatas tentu kita tidak menginginkan hal ini kembali terjadi.

Bentrokan antara masyarakat dengan korporasi membukti bahwa negara dalam hal ini pemerintah tidak menjalankan perannya dengan baik sebagai katalisator.

Harapannya dalam penyusunan Perda RTRW Kabupaten Bengkalis ini wajib menimbang dan meletakkan hak dan tanggung jawab sesuai dengan porsinya masing-masing.

Sudah banyak polemik yang terjadi di Indonesia terkait pembangunan tata ruang dan wilayah yang dibuat.

Konsep RTRW yang ideal adalah menjamin keberlangsungan pembangunan ruang dan wilayah oleh semua aspek, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Percekcokan yang sering muncul di permukaan adalah pertikaian antara kepentingan korporasi dan masyarakat awam. Hal ini paling sering terjadi bukan hanya pada tataran pemerintah lokal saja namun sekelas ibu kota Jakarta juga mengalami hal yang sama seperti kasus reklamasi Teluk Jakarta di kawasan pantai utara Jakarta pada waktu lalu.

Manifestasi dari regulasi RTRW yang ada ternyata belum mampu mendamaikan antara kehendak masyarakat terhadap hasrat kapitalis para pemilik modal. Sering kali pemerintah khususnya pemerintah daerah kecolongan jika berhadapan dengan kepentingan korporasi yang secara tendensius lebih konsen terhadap profit dibandingkan kemaslahatan bersama. Sebagai contoh konflik Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan dengan hak masyarakat terhadap kepemilikan tanah ulayat/tanah adat mereka.

Dalam konteks kabupaten Bengkalis hal ini wajib menjadi pertimbangan yang matang dan layak. Banyak saudara dan masyarakat Bengkalis yang hidup pada wilayah-wilayah yang mungkin kedepannya dijadikan HGU oleh perusahaan maupun pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah.

Seperti masyarakat di Pulau Rupat, saudara kita yang berada pada kawasan yang bersinggungan dengan perusahaan-perusahaan besar di wilayah Kecamatan Mandau dan sekitarnya, serta masyarakat Bengkalis yang hidup pada wilayah bibir pantai.

Mereka ini semua rawan dan rentan melakukan kontak dengan korporasi yang mampu berdampak komflik diantara keduanya.

Selanjutnya yang tidak kalah menarik untuk dibahas adalah apakah pihak legislatif dan pemerintah Kabupaten Bengkalis sudah melakukan tahapan formulasi Ranperda RTRW secara representatif. Dalam ilmu kebijakan publik tahapan terbentuknya sebuah regulasi baik itu.

Undang-Undang hingga pada tahapan terkecil yaitu Peraturan Daerah itu tidak terlepas dari peran berbagai macam stakeholder dalam suatu wilayah tersebut.

Beberapa waktu lalu pemerintah kabupaten Bengkalis telah melakukan konsultasi publik terkait usaha pembentukan Perda RTRW, namun yang menjadi tanda tanya sejauh mana efektivitas dari forum tersebut.

Keterwakilan dari berbagai aspek menjadi sangat penting seperti masyarakat adat suatu wilayah, tokoh masyarakat, akademisi lokal, pengusaha, kecamatan dan desa, serta berbagai elemen lainnya. Apakah mereka-mereka ini sudah dilibatkan, jika sudah apa bentuk saran dan masukan dari mereka.

Sudah saatnya pemerintah Bengkalis dan legislatif berseinergi dengan berbagai macam elemen kelompok dan masyarakat dalam merembukkan permasalahan yang ada dinegeri ini.

Kehadiran mereka ini menjadi amunisi bagi pemerintah daerah Bengkalis dalam menilik bagaimana perda RTRW yang akan disahkan. Kita tidak mau pemerintah kebupaten Bengkalis dan legislatif hanya menjadi stempel legalitas dari kebijakan yang tidak mampu menjawab semua keluh kesah semua pihak. Sehingga, pada akhirnya tulisan ini hendak mengajak seluruh pembaca khususnya para legislator dan pemerintah daerah untuk lebih peka terhadap aspirasi masyarakat secara umum.

Jangan buru-buru sahkan Perda RTRW, mari kita selesaikan secara bersama-sama permasalahan yang ada di Kabupaten Bengkalis khususnya terkait isu RTRW. Sudah tidak jamannya lagi pemerintah merasa paling benar dan paling mampu menjadi agen problem solving terhadap kebutuhan masyarakat jika hanya melahirkan lebih banyak masyarakat yang termiskin dari dampak kebijakan yang tidak Pro Poor dan cenderung bisnis oriented. (*1)




Oleh: 
Ade Idra Suhada
Dosen Kebijakan Publik 
Jurusan Hukum Tata Negara STAIN Bengkalis

Ikuti LIPO Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index