Ketua MUI Singgung Boikot Hingga Pengusiran Dubes, Buntut Pembiaran Pembakaran Alquran

Ketua MUI Singgung Boikot Hingga Pengusiran Dubes, Buntut Pembiaran Pembakaran Alquran
Pembakaran Alquran di Swedia/rm.id

JAKARTA, LIPO - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim menyampaikan pandangan soal pembakaran Alquran yang dilakukan di Swedia.

Sudarnoto mengawali penjelasannya dengan menyinggung ihwal Alquran yang beberapa waktu lalu saat Idul Adha kembali dibakar dan dinistakan, dirobek-robek menjadi pembersih sepatu.

Pelakunya, sebagaimana yang sudah banyak diberitakan media massa juga sama, yaitu seorang ekstrimis, sekuler dan ateis pengagum Paludan, bernama Salwan Momika, yang berasal dari Irak. Perbuatannya jelas-jelas anti Islam (Islamofobik) karena pelaku tersebut dengan terang-terang menantang umat Islam se-Dunia dan, seperti Paludan, dia dibiarkan oleh pemerintah Swedia atas nama kebebasan berekspresi.

Sudarnoto menilai, kebebasan berpendapat dan berekspresi seperti itu sangat merugikan hak-hak warga lain terutama umat Islam yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah dan oleh siapapun.

"Membiarkan tindakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrimis seperti Salwan, Paludan, dan lainya sama saja menggerogoti dan menghancurkan demokrasi dan kedaulatan," kata Sudarnoto dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Selasa (25/7/2023).

Menurut Sudarnoto, Pemerintah Swedia seharusnya mengerti betul bagaimana membangun iklim demokrasi. Pertama, yang benar-benar memberikan jaminan kepada semua orang untuk beragama dan berkeyakinan. Kedua, mendorong masyarakat bersikap toleran terhadap semua agama dan kelompok agama yang lain.

Ketiga, mendorong kerukunan dan kerjasama antar agama dan budaya. Negara-negara Barat seperti Swedia ini harus berubah cara pandangnya. Jika tidak, kepercayaan internasional, terutama dari negara-negara anggota OKI seperti Indonesia, akan merosot.

"Pembakaran Alquran bukan saja menyangkut umat Islam minoritas di Swedia, akan tetapi ini menyangkut semua orang Islam di dunia. Jadi, kelompok ekstrimis serta pemerintah Swedia tidak boleh main-main soal yang sangat sensitif ini," katanya.

Sudarnoto melanjutkan, kasus pembakaran Alquran dan berbagai bentuk penistaan terhadap Islam dan umat Islam membuktikan secara kasat mata bahwa Swedia belum menunjukkan niat baik dan serius untuk menghentikan sama sekali tindakan-tindakan yang benar-benar melanggar HAM seperti yang dilakukan oleh penganut ekstrimis pimpinan Paludan.

"Sebelum ini, sudah banyak elemen masyarakat dan negara termasuk MUI yang telah mengingatkan pemerintah Swedia untuk menindak tegas kepada Paludan yang telah melakukan tindak kejahatan yaitu pembakaran Alquran yang telah dilakukan beberapa kali ini," ujarnya.

Karena itu, dalam hal demikian, Sudarnoto meminta Duta Besar Swedia untuk Indonesia memberikan penjelasan secara baik dan menyatakan niat baiknya untuk menangkap orang-orang jahat seperti Salwan dan Paludan. Sekaligus memberikan jaminan tidak ada lagi orang atau kelompok-kelompok pembenci agama ini di masa mendatang.

"Apa yang saya sampaikan ini menjadi bagian dari dukungan MUI terhadap sikap Liga Dunia Islam dan kementerian luar negeri RI  terkait dengan kasus ini," tuturnya.

Lebih jauh, Sudarnoto mengatakan, ini juga sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh PBB untuk memberikan perlindungan terhadap agama apapun. Swedia, menurutnya, perlu menjadi perhatian khusus mengingat pembakaran dan penistaan terhadap Alquran sudah terjadi berulang kali, dan semua pelakunya terlindungi.

"Salah satu faktor pentingnya adalah karena Swedia tidak memiliki undang-undang yang melarang siapapun untuk menistakan agama," jelasnya.

Sudarnoto mengungkapkan, Swedia tidak sekadar negara sekular yang tidak mengatur urusan agama, tetapi justru cenderung memberikan ruang secara legal untuk mengembangkan sikap ekstrem anti agama yang saat ini korbannya adalah Islam.

"Atas dasar itu, hemat saya harus ada perubahan mendasar dalam sistim perundang-undangan sehingga Swedia bisa tetap menjadi negara sekular dan demokratis akan tetapi tidak anti agama dan anti perbedaan apapun," katanya.

Menurut Sudarnoto, perlu ada kekuatan civil society lintas agama dan peradaban di Swedia dan Eropa pada umumnya untuk secara terus-menerus mengkampanyekan dan melakukan tekanan politik agar terjadi perubahan di Swedia.

Cara lain yang sebetulnya bisa ditempuh adalah membangun perlawanan publik dari berbagai negara termasuk Indonesia, misalnya, terhadap pemerintah Swedia yang melakukan pembiaran terhadap berkembangnya ekstremisme.

"Perlawanan ini bisa saja bentuknya pembentukan aliansi ekstensif lintas agama dan negara untuk melakukan boikot, divestasi dan sanksi terhadap Swedia," tuturnya.

Selain daripada itu, lanjut Sudarnoto, seperti yang sudah dilakukan pemerintah Irak, Indonesia dan negara-negara lain sebetulnya bisa juga melakukan pemanggilan dan bahkan pengusiran terhadap Duta Besar Swedia. Dengan cara ini pemerintah Swedia mengerti betul bagaimana membangun empati, respek dan sekaligus jaminan perlindungan terhadap siapa saja dan beragama apa saja di Swedia.

"Jika semua ini diabaikan dan dibiarkan, maka bisa menimbulkan tindakan-tindakan ekstrem yang berasal dari dalam dan luar negeri yang justru akan mengganggu keamanan dan stabilitas sosial politik di Swedia. Jika salah-salah menangani, Swedia akan bisa menjadi common enemy," katanya.(*3)

 

Ikuti LIPO Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index