PEKANBARU, LIPO - Komisi III DPRD Riau memanggil manajemen PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dalam rapat dengar pendapat guna mengevaluasi sejumlah aspek penting terkait operasional perusahaan. Rapat tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Komisi III, Edi Basri, pada Kamis (10/07/25).
Dalam rapat yang berlangsung di gedung DPRD Riau tersebut, Edi Basri mempertanyakan transparansi pemasukan PT RAPP yang disebut mencapai Rp 25 triliun. Namun, menurut temuan Panitia Khusus Monitoring Lahan, terdapat potensi pendapatan sebesar Rp9 triliun yang belum tergali dari sektor pajak.
"Kita curiga ada yang tidak beres, apakah PT RAPP tidak taat pajak atau ini masalah di kinerja petugas pajak. Hal ini akan kita evaluasi secara menyeluruh," kata Edi Basri kepada awak media usai rapat kemarin, Kamis 11 Juli 2025.
Komisi III juga menyoroti persoalan izin yang selama ini dianggap menjadi pemicu konflik antara perusahaan dan masyarakat. Edi menegaskan, setiap izin yang diberikan harus disertai dengan pemahaman tentang hak dan kewajiban. Ia mengkritik pendekatan lapangan oleh pihak perusahaan yang hanya membawa peta tanpa melampirkan dokumen keputusan resmi terkait perizinan.
“Kita tidak ingin masyarakat justru dirugikan karena kesalahan penafsiran izin. Izin seharusnya mendorong kesejahteraan masyarakat, bukan menimbulkan konflik,” tegasnya.
DPRD juga meminta PT RAPP menyerahkan salinan izin dan dokumen peta operasional untuk dievaluasi lebih lanjut. Hal ini berkaca dari konflik lahan yang sempat terjadi di Kabupaten Siak yang melibatkan anak perusahaan PT RAPP.
"Sayangnya mereka tidak membawa yang kita minta," jelasnya.
Selain itu, lanjut politisi Gerindra ini dalam rapat itu, Komisi III turut menyinggung dugaan aktivitas PT RAPP di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Meski pihak RAPP membantah keterlibatan langsung, DPRD akan mendalami lebih lanjut aktivitas masa lalu perusahaan di kawasan tersebut.
“Mereka mengklaim tidak terlibat sejak perubahan nomor izin dengan luasan 82 ribu hektare. Namun, jika terbukti RAPP pernah mengambil keuntungan dari kawasan TNTN, maka harus ada kewajiban membayar seperti yang diberlakukan kepada perusahaan lain, seperti Wilmar,” kata Edi.
Dalam kesempatan yang sama, Komisi III juga menanyakan soal isu distribusi BBM dan batu bara ilegal. Pihak RAPP mengklaim seluruh BBM yang digunakan bersumber dari Pertamina, dan penggunaan batu bara hanya mencakup sekitar 20 persen kebutuhan energi mereka.
Komisi III menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap izin dan tanggung jawab sosial perusahaan yang beroperasi di Riau.
"Sepanjang perusahaan menjalankan kewajiban sesuai izin yang diterbitkan, tentu tidak ada masalah. Tapi bila izin disalahgunakan atau tidak dijalankan sebagaimana mestinya, maka harus ada tindakan tegas,” tutup Edi.*****